ANGKATAN 2008

ANGKATAN 2008

Kamis, 28 Maret 2013

Ringkasan Tentang Aristoteles


Admin Renal
Aristoteles (384-322 seb. M)
            Aristoteles kahir di desa Stagira, negeri Thrakia, yaitu bagian utama Yunani modern sekarang. Ayahnya adalah seorang dokter dan pengalaman Aristoteles dalam rumah ayahnya rupanya sangat mempengaruhi caranya meninjau dunia sekitarnya. Di kemudian hari kegemarannya ialah menggambarkan sifat-sifat pelbagai jenis makhluk hidup dan benda dari dunia alam. Pada tahun 367 seb. M., ia pindah ke Atena dan memasuki Akademi Plato. Di sana ia belajar dan bekerja selama 20 tahun, yaitu sampai Plato wafat.
            Empat tahun kemudian, yaitu pada tahun 343, Aristoteles dipanggil menjadi guru pribadi putra Filipus, raja Makedonia. Pada waktu itu, putra yang bernama Iskandar baru tiga belas tahun umurnya. Aristoteles mendidik putra Filipus itu selama tiga tahun, yaitu sampai ia dipanggil ayahnya melaksanakan pelbagai tugas kemiliteran. Meskipun tidak ada dokumen yang menggambarkan sifat pendidikan yang diterima Iskandar itu, namun Aristoteles rupanya telah menanamkan dalam diri anak didiknya kehausan akan pengetahuan dan cara meneliti apa saja yang ditemuinya dengan seksama. Di kemudian hari Iskandar sebagai raja dan jenderal, menyebarkan kebudayaan Yunani ke semua daerah yang berhasil ditaklukkan tentaranya. Iskandar mendirikan sebuah perpustakaan dan museum di kota Iskandaria di Mesir, dua lembaga yang tidak dikenal dunia Yunani sebelumnya.
            Pada tahun 334, Aristoteles kembali lagi ke kota Atena dan mendirikan sekolahnya dalam suatu gedung Lyceum, suatu ruang olahraga yang merupakan bagian dari kuil Appolos. Kemudian sebagaimana nama sekolah Plato, yaitu Akademi, terus hidup sebagai istilah untuk banyak macam perguruan tinggi, demikianlah pula nama sekolah Aristoteles itu diambil alih sebagai nama untuk tempat-tempat di mana orang membahas topik dan tema yang penting. Dalam taman Lyceum itu Aristoteles condong berjalan hilir-mudik sambil berbicara dengan para murid tentang berbagai ilmu atau masalah tertentu. Berdasarkan kebiasaan Aristoteles ini, maka gaya mengajarnya membuat sekolah itu dikenal sebagai sekolah “peripatetis”, suatu istilah yang diambil dari kata kerja Yunani peripatein, yang artinya berjalan-jalan. Di sana ia mengajarkan logika, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu bintang, ilmu jiwa dan etika. Ruang lingkup yang luas ini menunjukkan kepandaiannya. Dalam Abad Pertengahan di Eropa Barat kurikulumnya hidup kembali dalam bentuk yang dikenal sebagai Ketujuh Pokok Seni Liberal (Septem Ars Liberales).
            Pengaruh Aristoteles atas dunia cendekiawan amat besar, sungguhpun pelbagai seluk-beluk tertentu dari ilmunya tidak sesuai lagi dnegan hasil penyelidikan modern, namun banyak istilah ilmiah yang dipakai Aristoteles masih dipakai dalam dunia ilmu pengetahuan dewasa ini. Tulisan-tulisannya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan kemudian ke dalam bahasa-bahasa Eropa Barat. Di sana, khususnya pada Universitas Paris, gagasannya diambil-alih oleh Prof. Thomas Aquino yang mengolahnya ke dalam bentuk baru. Dengan sistem pengajarannya dia berusaha menyesuaikan pandangan Aristoteles dengan iman Kristen. Sistem intelektual itu masih berlaku dalam pemikiran teologi Gereja Katolik.
            Pandangan Aristoteles terhadap pendidikan dapat disimpulkan dari isi dua kaya utamanya, yaitu Etika Nikomakia dan Politik. Bagi dia, pendidikan termasuk kegiatan insani yang mempunyai maksud utama, yaitu menolong orang mencapai kebahagiaan (eudaimonia). Aristoteles menjernihkan arti kebahagiaan itu selaku penggunaan semua kemungkinan dalam diri seseorang yang dapat diserasikan dengan kebajikan. Tetapi kebajikan itu bukanlah harta milik yang disimpan dalam “bank”, melainkan suatu mutu yang perlu diamalkan terus-menerus sepanjang hidup.
            Kalau kita menerima bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup dan karena itu tujuan pendidikan juga, maka bagaimanakah tujuan tersebut dapat dicapai menurut pemikiran Aristoteles? Pertama-tama, sebagai dasar pendidikannya, ia menitikberatkan pentingnya pancaindera manusia. Sama seperti halnya dengan ribuan orang lainnya, maka ia juga mengamati kecondongan anak-anak kecil untuk menyentuh benda-benda, mencium bunga, mengamati dunia sekitarnya, mendengar suara anggota-anggota keluarga, meresapi maknanya dan seterusnya. Secara otomatis anak-anak melibatkan dirinya dalam kegiatan demikian. Oleh karena itu guru hendaknya mengembangkan tugas belajar yang sesuai dengan  minat pembawaan itu. Sejak kecil si anak berangsur-angsur belajar membedakan antara pelbagai pengalaman, sampai ia mampu menyesuaikan kelakukannya dengan akbiat kegiatan tertentu. Apabila ia menyentuh kompor panas, tangannya segera ditarik kembali. Kemudian kompor itu akan menjadi tanda dari kesakitan tadi. Singkatnya, ia belajar dari pengalamannya. Berdasarkan pengamatan itu Aristoteles menarik kesimpulan, bahwa pendidikan melalui kebiasaan harus mendahului pendidikan melalui akal. Dengan kata lain, baik buruknya sesuatu orang dipelajari melalui apa yang dialaminya. Sehubungan dengan ini Aristoteles menulis:
Kita tidak memperoleh kesanggupan melihat dengan cara melihat terus-menerus dan kita juga tidak mendapat kesanggupan mendengar dengan cara mendengar terus-menerus, melainkan justru sebaliknya. Oleh karena kita mempunyai kemampuan melihat dan mendengar, kita mulai memanfaatkannya. Kita tidak memperoleh pancaindera tersebut dengan jalan mempergunakannya. Lain sekali halnya dengan kebajikan. Kita memperoleh kebajikan sebagai akibat bertindak secara bajik... Kita menjadi orang-orang yang adil dengan cara berindak adil...menjadi berani dengan cara berbuat berani... Oleh karena itu, apakah kita terlatih sejak kecil dengan kebiasaan ini atau itu merupakan sesuatu yang amat penting.
            Jadi, para pelajar hendaknya dituntun dan dianjurkan untuk bergaul dengan anak-anak, muda-mudi dan orang dewasa yang berbudi tinggi. Subyek pergaulan itu bukan anggota keluarga atau teman-teman saja, melainkan termasuk juga tokoh-tokoh yang muncul dalam drama, cerita, kitab suci, dan yang aktif dalam masyarakat sebagai rohaniawan, pemimpin politik, dramawan dan seterusnya. Oleh karena itu, tugas seirang guru ialah untuk menolong murid-muridnya meningkatkan diri menjadi sama dengan orang-orang yang berbudi tinggi.
            Jika kebiasaan berbudi itu telah terbentuk atau lebih tepat apabila dikatakan “sedang terbentuk dalam diri mereka, maka para pendidik pun wajib memperhatikan perkembangan nalar para pelajar. aristoteles sendiri mendorong murid-muridnya untuk meneliti dunia alam sekitarnya, menggolongkan keterangan yang diperoleh dari usaha itu dan kemudian menarik kesimpulan berdasarkan hasil penelitian itu, atau dalam kata-kata Aristoteles sendiri:            Jadi, para pelajar hendaknya dituntun dan dianjurkan untuk bergaul dengan anak-anak, muda-mudi dan orang dewasa yang berbudi tinggi. Subyek pergaulan itu bukan anggota keluarga atau teman-teman saja, melainkan termasuk juga tokoh-tokoh yang muncul dalam drama, cerita, kitab suci, dan yang aktif dalam masyarakat sebagai rohaniawan, pemimpin politik, dramawan dan seterusnya. Oleh karena itu, tugas seirang guru ialah untuk menolong murid-muridnya meningkatkan diri menjadi sama dengan orang-orang yang berbudi tinggi.
            Jika kebiasaan berbudi itu telah terbentuk atau lebih tepat apabila dikatakan “sedang terbentuk dalam diri mereka, maka para pendidik pun wajib memperhatikan perkembangan nalar para pelajar. aristoteles sendiri mendorong murid-muridnya untuk meneliti dunia alam sekitarnya, menggolongkan keterangan yang diperoleh dari usaha itu dan kemudian menarik kesimpulan berdasarkan hasil penelitian itu, atau dalam kata-kata Aristoteles sendiri:
Oleh karena itu harus kita periksa kesimpulan yang dikemukakan murid dengan mengujinya menurut data-data tertentu. Apabila kesimpulan tersebut sesuai dengan data itu, maka ia dapat diterima. Kalau tidak, maka ia harus kita anggap hanya suatu teori.
            Aristoteles ingin melibatkan para muridnya dalam kegiatan mengambil keputusan etis, dalam arti bahwa mereka harus belajar bagaimana mempertimbangkan pelbagai kemungkinan etis dan akhirnya memilih keputusan yang paling sesuai dengan patokan “kebahagiaan” . persoalannya ialah, bagaimana caranya orang dapat menemukan ukuran yang dapat dipercaya? Menurut Aristoteles, kuncinya ialah “jalan tengah kencana” (golden mean), sebab dalam pengalaman sehari-hari jarang sekali ditemukan ukuran mutlak tentang perilaku yang tepat dalam semua keadaan. Pendekatan yang lebih serasi ialah memilih jenis perilaku di tengah-tengah dua kemungkinan yang saling berbeda, yang mirip dua kutub perilaku yang bertentangan, misalnya jalan tengah antara kepengecutan dan nekad secara membabi buta ialah keberanian; antara kemalasan dan nafsu ialah ambisi; antara kerendahan hati dan kesombongan ialah kesederhanaan. Apabila para murid mendekati keputusan tersebut secara obyektif, maka mereka condong menjauhkan diri mereka dari segala kemungkinan yang bersifat keterlaluan. Mereka sedang menyerasikan diri juga dengan irama alam dunia; mereka sedang mengalami kebajikan moral dan baru boleh mendapat gelar “terpelajar”.
            Meskipun Aristoteles mempertahankan siasat memilih “jalan tengah kencana” sebagai pedoman mengambil keputusan etis, ia akui juga bahwa asas itu tidak berlaku untuk semua macam perilaku. Sebabnya ialah, karena ada perilaku yang selalu salah, misalnya mencuri, membunuh, berzinah. Semua perilaku tersebut dianggap salah, dan bukan kekurangan atau keterlaluan di dalamnya yang membuatnya menjadi salah. Siapa saja yang membunuh, mencuri, berzinah takkan kunjung dianggap berbuat baik karena tidak ada keadaan dalam mana perilaku tersebut merupakan suatu kebajikan. Apabilan pendidikannya berhasil sesuai dengan yang dimaksud, maka si pelajar sudah mencapai kesempurnaan insani yang terbukan bagi manusia. Perilakunya menampilkan suatu pribadi yang berbudi tinggi yang bijaksana dan yang mampu meilhat hubungan-hubungan yang sejati. Singkatnya, ia boleh dianggap seorang yang terpelajar, seorang yang berbahagia.