ANGKATAN 2008

ANGKATAN 2008

Sabtu, 24 Maret 2012

Riset Pengginjilan Suku Boti Timor Nusa Tenggara Timur


BAB I
PENDAHULUAN

Kabupaten Timor Tengah Selatan yang terletak di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur banyak menyimpan ragam suku budaya. Di kabupaten yang berpenduduk sekitar 400 ribu jiwa ini dahulu terdapat beberapa kerajaan-kerajaan kecil seperti. Salah satu yang masih tersisa hingga kini adalah Kerajaan Boti yang mendiami kawasan pegunungan di kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan.[1]
Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. Wilayah kerajaan Boti terletak sekitar 40 km dari kota kabupaten Timor Tengah Selatan, So’e, secara administratif kini menjadi desa Boti kecamatan Kie. Karena letaknya yang sulit dicapai di tengah pegunungan, desa Boti seakan tertutup dari peradaban modern dan perkembangan zaman.[2] Berjalannya perputaran roda waktu seakan tidak menyentuh kerajaan Boti. Warga Boti hingga kini masih hidup dalam kesahajaan mereka dan tetap memegang teguh pada tradisi leluhur mereka. Kehidupan warga Boti hingga kini masih bergantung pada kerasnya alam daratan Pulau Timor. [3]
Raja Boti, Usif Nama Benu, baru saja menggantikan ayahnya, Usif Nune Benu yang wafat pada bulan Maret 2005. Usif adalah sebutan atau gelar yang diberikan Suku Boti terhadap raja mereka yang juga merupakan pemimpin adat dan spiritual warga Boti. Sejak meninggalnya Usif Nune Benu, orang Boti menjalani masa berkabung, karena itu selama tiga tahun lamanya orang Boti tidak mengadakan pesta-pesta adat. Menurut sang Raja baru, Usif Nama Benu,[4] biasanya mereka mengadakan kegiatan pesta adat seusai panen namun selama masa berkabung ini ditiadakan untuk menghormati sang ayah Usif Nune Benu. Masyarakat Suku Boti berkabung selama 3 tahun setelah wafatnya Raja Boti Usif Nune Benu pada bulan Maret 2005.
























Bab II
Kebudayaan dan upacara adat Suku Boti Timor Tengah Selatan NTT  

            Dari hasil wawancara dan sumber-sumber yang dikumpulkan oleh penulis dan hasil yang diperoleh adalah jumlah suku Boti semakin berkurang tetapi meski jumlah penduduk Boti Dalam makin berkurang, namun mereka masih survive tetap melaksanakan upacara-upacara peninggalan nenek moyang mereka.[5] Setelah beberapa tahap yakni upacara kelahiran atau lais mahont, masa persalinan (mahonit), upacara pengenalan anak dengan dunia luar (Napoitan Liana). Selanjutnya, masyarakat Boti juga masih menggelar upacara-upacara yang merupakan kelanjutan dari upacara-upacara tersebut. Upacara yang dilakukan lebih lanjut pada sang anak adalah:
Upacara pemberian nama (nakanab) Masyarakat Boti biasanya memberi nama anak mereka saat bayi usia empat bulan. Upacara pemberian nama ini disebut Na kanab li ana dilakukan oleh tua adat. Di rumah orang tua bayi dibentangkan selembar tikar yang di atasnya tersedia dua tempurung yang telah diisi air yang sudah diolah dengan ramuan tradisional dan telah didoakan secara adat. Di hadapan undangan air ramuan dipercikan kepada bayi oleh tua adat yang diikuti dengan pemberian nama kepada bayi. [6]
Proses ini dilakukan hingga bayi tersebut menangis. Saat bayi menangis, para undangan secara bergiliran mengucapkan nama-nama yang ada hubungannya dengan silsilah keturunan warga Boti Dalam. Nama-nama yang disebutkan antara lain Mollo, Nune, Bota, Tosi, Heke, Boi Sau, Muke dan lain-lain. Bila bayi berhenti menangis saat sebuah nama disebutkan, maka nama itulah yang akan diberikan kepada sang bayi. Bagi masyarakat Boti, sang bayi menangis berarti meminta nama dan berhenti menangis berarti menyetujui nama tersebut.[7]
Upacara mencukur rambut (Eu Nakfunu) Mencukur rambut pada anak-anak suku Boti dilakukan sekali dalam seumur hidup. Bila telah melakukan upacara cukur, selanjutnya rambut dibiarkan panjang d an dibiarkan untuk dikonde seperti halnya perempuan. Upacara mencukur rambut dimaksudkan untuk memberikan jalan untuk kehidupan selanjutnya. Ini diketahui pada kebiasaan yang ada, di mana setiap anak yang dicukur rambutnya bertanda bahwa sang ibu dari anak tersebut sudah mengandung lagi.
Upacara ini dilakukan oleh Atoin Amaf (saudara laki-laki dari ibu) yang didahului dengan doa-doa adat oleh salah seorang dukun atau tua adat. Ada pengecualian dalam upacara ini, yakni jika seorang ibu yang sudah dekat saatnya untuk melahirkan maka tidak diperkenankan melaksanakan upacara ini. Kepercayaan ini dipegang tegu dan apabila dilanggar maka akan menghadirkan celaka, misalnya kematian terhadap ibu atau bayi yang akan dilahirkan. Sebaiknya upacara mencukur rambut dilakukan sebelum ibu mengandung anak berikutnya.
Upacara mencukur rambut bermaksud membantu pertumbuhan dan kesuburan badan anak tersebut, karena diyakini rambut yang dibawa  dari kandungan ibu mengandung unsur panas. Bila tidak dicukur, anak akan sakit-sakitan. Perkawinan (Mafet Mamamonet). Dalam masyarakat Boti bila ada pria dari Boti Luar (masyarakat Boti yang sudah menganut agama Kristen) yang jatuh cinta pada gadis Boti Dalam dan kemudian berencana mengambilnya menjadi istri, maka sang pria harus membuat pernyataan secara adat untuk mengikuti tata cara adat Boti Dalam. Demikian pula sebaliknya, jika ada gadis Boti Dalam yang menjalin asmara dengan pria Boti Luar, maka ia hanya diperkenankan menetap di Kampung Boti
Dalam, bila laki-lakinya ikhlas mengikuti adat istiadat yang berlaku di Boti Dalam dan tinggal di lingkungan mereka. Syarat pengecualian ini diberlakukan semata-mata untuk tetap mempertahankan kemurnian dan keberlanjutan adat kebiasaan yang semakin terkikis oleh pengaruh budaya luar yang semakin menggeser kebudayaan yang diwariskan oleh para leluhur suku Boti. Tata cara perkawinan dalam adat istiadat suku Boti terdiri dari beberapa tahap yang membutuhkan waktu hingga tahunan lamanya. Mulai dari proses perminangan, hidup berkeluarga (rumah tangga) sampai dengan peresmian secara adat.[8]
Peminangan (Toif Bife). Awal dari sebuah proses perkawinan pada masyarakat Dawan, yakni Toit Bi Fe (meminang  gadis) dan memberikan tanda ikatan. Bagi masyarakat Boti, peminangan dilakukan oleh perantara yang merupakan utusan pihak laki-laki. Perantara ini disebut Nete Lanam, yakni seorang tetua adat mendatangi orangtua gadis. Saat bertemu akan terjadi tegur sapa, dan perantara ini membuka isi hati menurut tutur adat dengan maksud untuk mencari tahu apakah anak gadis yang dimaksud sudah mempunyai calon suami atau belum. Jika jawaban yang diberikan orangtua sang gadis adalah si gadis sudah dilamar pria lain, maka pembicaraan akan dihentikan. Tapi, bila jawaban belum ada pria lain yang melamar, maka perantara atau Nete Lanan dari keluarga laki-laki akan menyampaikan maksud kedatangannya yakni untuk melamar anak gadis. Seterusnya pendekatan yang dilakukan oleh perantara Nete Lanan akan mendapat jawaban setuju atau menerima lamaran dari keluarga laki-laki. Dari jawaban tersebut, juga akan terjadi kesempatan untuk melanjutkan ke tahap berikutnya dengan menetapkan waktu pelaksanaannya.[9]
Ikatan Perkawinan (Maftus Neo Mafet Mamonet) Tahapan ikatan perkawinan merupakan kelanjutan dari kesepakatan yang sudah ditentukan pada tahap peminangan. Ikatan adat ini disebut Ma Fut Nekaf yang merupakan tahap penyerahan syarat dalam ikatan adat berupa sopi (minuman tradisional beralkohol) satu botol (waktu lalu), kini telah diganti dengan gula air satu botol dan satu kepingan uang logam (golden Belanda) bernilai 25 sen atau 50 sen. Dalam masyarakat Dawan, hal ini disebut dengan istilah Tua Boit Mese, Noin Sol Mese. Arti harafiahnya adalah penyerahan sebotol sopi dan sesen uang, sebagai ikatan awal dari sebuah proses perkawinan Suku Bangsa Dawan.[10]
Pada Masyarakat Boti Dalam setelah penyerahan syarat ikatan adat berupa Tua Boit Mese, Noin Sol Mese, maka orangtua gadis dengan rela hati menyerahkan anak gadis kepada keluarga laki-laki dan tinggal serumah dengan laki-laki yang melamarnya sebagai suami istri.Namun sebelum keluarga laki-laki membawa gadis tersebut untuk menjalani kehidupan sebagai suami-istri, pasangan ini akan diberi petuah dan nasihat oleh orangtua dari kedua pihak. Nasihat biasanya berisikan agar kedua orang itu bekerja sama untuk menjalani kehidupan, saling setia dan tetap patuh dan hormat pada nilai-nilai dan norma-norma yang diwariskan oleh leluhur mereka, selalu berbuat baik pada sesama, tidak merusak hutan dan mejaga lingkungan alam sekitar serta tidak membunuh segala jenis hewan yang ada di hutan, hemat dalam hidup dan menabung untuk menghadapi kesulitan dalam hidup.
Hidup Berumah Tangga (Monit Mafet Ma Monet) Menurut masyarakat Boti, bila tahap ini belum dilaksanakan, maka belum sah secara penuh dalam satu proses perkawinan. Tahap ini merupakan awal untuk menjalankan suatu tanggung jawab secara mandiri dalam rangka mempersiapkan segala kebutuhan untuk pemenuhan kebutuhan dalam rumah tangga sebagai suami dan istri. Pada tahap ini, seorang laki-laki akan menunjukkan karyanya kepada istri dan orangtuanya sebagai jawaban atas amanat yang ia terima pada saat pembicaraan dalam upacara Napoitana Li Ana, yakni kami datang membawa auni ma suni (pedang dan tombak). Kedua jenis perangkat ini adalah peralatan hidup bagi seorang laki-laki Suku Dawan untuk mengelola alam yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup beserta keluarga. Sementara sang istri akan menunjukkan kepiawaian sebagai penyulam dan penenun yang mahir. Dari dua perangkat alat kerja yakni Ike Ma Suti yaitu alat pemintal benang bagi perempuan Dawan untuk memperindah tubuhnya dan suami serta anak-anak.
Bakti Kepada Orangtua (Maka Upa Ncu Mnasi) Pada masyarakat Dawan umumnya, tahap ini lebih populer dengan nama "pembayaran belis" (mas kawin) atau istilah adatnya disebut pua mnasi-manumnasi atau oemaputu Ai Malala. Bagi masyarakat Boti, tahap ini merupakan tanggung jawab yang semata-mata dibebankan kepada pasangan suami istri yang tidak menjadi beban dari orangtua pihak laki-laki maupun kerabat yang pada akhirnya akan menjadi beban moril (hutang) bagi laki-laki yang akan kawin bahkan juga melibatkan istrinya di kemudian hari.
Pada tahap ini keluarga meminta pasangan suami istri dapat menunjukkan sikap berbakti yang telah diberikan selama tiga tahun berumah tangga. Bakti kepada orangtua adalah hasil yang telah diperoleh selama tiga tahun antara lain hasil dari kebun berupa padi dan jagung, hasil dari menyulam dan menenun berupa sarung dan dan selimut, hewan peliharaan berupa ayam, babi, kambing, sapi dan kerbau serta hasil lainnya. Bahan-bahan tersebut dikumpulkan oleh pasangan suami istri. Keduanya kemudian mengumpulkan semua sanak keluarga dari pihak suami dan istri untuk mengadakan pesta syukuran adat sebagai tahap akhir dari suatu proses perkawinan di kampung adat Boti. Berakhirnya pesta bakti ini maka resmi sudah suatu perkawinan di kalangan masyarakat Boti yang membutuhkan waktu tiga tahun.[11]
                                                                          

                                                                     Bab III
Kepercayaan (Agama) Suku Boti Timor Tengah Selatan NTT

Suku Boti dikenal sangat memegang teguh keyakinan dan kepercayaan mereka yang disebut Halaika. Mereka percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah sebagai mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Sedangkan Uis Neno sebagai papa atau bapak yang merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia. [12]  
Menurut falsafah hidup orang Boti manusia akan selamat dan sejahtera bila merawat dan melestarikan lingkungan hidup. Dalam kehidupan keseharian mereka segala sesuatu mereka dapatkan dari alam seperti halnya keperluan sandang yang dibuat dari benang kapas dan pewarna yang mereka dapatkan dari tumbuhan di lingkungan sekitar mereka. Dalam kehidupan sehari-hari ada pembagian tugas yang jelas antara kaum lelaki dan perempuan. Para lelaki bertugas mengurusi permasalahan di luar rumah, seperti berkebun, dan berburu. Sementara urusan rumah tangga, diserahkan kepada kaum perempuan. Meskipun pembagian peran ini biasa dijumpai dalam sistem kekerabatan, ada satu hal yang membuat warga Boti agak berbeda, mereka menganut monogami atau hanya beristri satu. Seorang lelaki Boti yang sudah menikah, dilarang memotong rambutnya. Sehingga bila rambut mereka semakin panjang, mereka akan menggelungnya seperti konde.
Bila kepercayaan dan aturan adat Boti dilanggar, maka akan dikenakan sanksi, tidak akan diakui sebagai penganut kepercayaan Halaika, berarti harus keluar dari komunitas suku Boti, sebagaimana yang terjadi pada putra sulung Laka Benu, kakak dari Raja Usif Nama Benu. Laka Benu yang seharusnya menjadi putra mahkota, memeluk agama Kristen sehingga ia harus meninggalkan komunitas Boti. [13]
Menurut Molo Benu, yang juga merupakan adik dari Usif Nama Benu,[14] untuk dapat terus menjaga dan menjalankan adat dan kepercayaan mereka, anak-anak dalam satu keluarga dibagi dua, separuh dari anak-anak mereka diperbolehkan bersekolah sementara yang lainnya tidak diperkenankan bersekolah dengan tujuan agar dapat teguh memegang adat tradisi mereka. Aturan pendidikan bagi anak-anak Boti bertujuan agar tercipta keseimbangan antara kehidupan masa sekarang dengan kehidupan berdasarkan adat dan tradisi yang sudah diwariskan oleh leluhur mereka.[15]
Kepercayaan Uis Pah dan Uis Neno merupakan kepercayaan atau agama asli suku Timor yang terungkap dalam tradisi tutur kata atau secara lisan dan bukan tulisan yang terungkap dalam berbagai ritual. Dalam tradisi agama suku banyak terungkap nilai-nilai tradisi budaya lokal yang sangat mempertahankan kelestarian alam dan moral baik manusia. Manusia sendiri diharapkan berhati baik karena akan dengan sendirinya bermoral baik secara alamiah. Seperti pengharapan masyarakat Boti yang terdapat di kabupaten Timor Tengah Selatan. Manusia bermoral baik akan memperlihatkan moral baiknya dalam pergaulan dengan sesama manusia dan alam sekitar.
Agama suku merupakan sebutan untuk kepercayaan lokal suatu suku yang sudah ada sebelum agama-agama resmis yang diakui negara namun berasal dari luar Indonesia ada di negara ini. Kepercayaan Uis Pah dan Uis Neno merupakan kepercayaan nenek moyang suku Timor yang yang terungkap dalam berbagai ritual yang masih dilakukan pelakunya sampai kini. Dalam agama suku biasanya terdapat ciri-ciri khusus sebagai berikut.[16] Agama suku erat kaitannya dengan penyembahan terhadap dunia roh yang dianggap mendiami dan menguasai alam, biasanya memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewi yang memiliki nama. Dengan demikian kondisi kepercayaan terhadap kuasa supernatural sangat terasa. Tak heran kalau pada agama suku sering ditemukan benda benda berbentuk jimat yang dianggap memiliki kekuatan magis. Sebagai agama yang sarat dengan tutur kata, agama suku dilengkapi dengan mantera-mantera.
Pemimpin agama suku yang kharismatik harus menguasai berbagai mantera karena dialah yang dianggap dapat berhubungan secara langsung dengan roh-roh yang disembah oleh masyarakat penganut kepercayaan atau agama suku tertentu. Kaitan antara agama suku danadat istiadat masyarakatnya sangat erat. Penganutnya terikat pada nonna adat atau hukum yang ada dalam suku. Agama suku memiliki berbagai upacara ritual dalam berbagai siklus kehidupan seperti kelahiran, perkawinan, kematian, menanam dan memanen tanaman, dan sebagainya. Cerita cerita mitos sangat erat pada kehidupan masyarakat penganut agama suku tersebut. Sebagai kepercayaan yang bersifat turun temurun agama suku tidak memiliki ajaran yang sistimatis. Kepercayaan ini lebih banyak berisi cerita cerita mitos yang berupa petuah atau larangan yang biasanya dianut oleh penganutnya.
Kepercayaan Uis Pah dan Uis Neno diaktualisasikan menurut bahasa masing-masing sub suku yang ada di pulau Timor. Ungkapan-ungkapan ritual dalam bahasa Dawan di desa Amarasi Barat yang terletak di kabupaten Kupang misalnya berbeda dengan ungkapan-ungkapan ritual yang terdapat pada bahasa suku Boti. Mereka memang sama-sama suku Atoni namun bahasanya masih banyak memiliki perbedaan. Namun sebagai sesama suku yang mempercayai Uis Neno dan Uis Pah nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lokal mereka tidak banyak berbeda. Mereka sangat memberikan penghargaan terhadap alam yang perlu dilestarikan karena menurut mereka alam merupakan sarana untuk berhubungan dengan kekuatan-kekuatan yang terdapat pada Uis Pah dan Uis Neno.
Unsur-unsur alam yang harus dipelihara seperti air kayu dan batu dianggap dapat menjadi tempat untuk melakukan pemujaan terhadap Uis Neno dan Uis Pah. Biasanya sebuah keluarga memiliki tempat-tempat pemujaan di dalam hutan yang merupakan warisan dari keluarga mereka. Tempat tempat ini disebut sebagai uis fatu (pemujaan dengan memakai batu besar), uis kau ( pemujaan denganmemakai kayu) dan uts oe (pemujaan dengan memakai air). Selain pada tempat berbatu-batu pemujaan terhadap roh roh juga dilakukan di rumah yang disebut sebagai Ume Leu yang bermakna rumah pemaii. Rumah ini dianggap sebagai pemujaan terhadap roh leluhur yang sudah mati tapi dianggap masih menjiwai keluarga mereka yang hidup. Persembahan yang diberikan kepada kekuatan-kekuatan gaib tersebut adalah benda bernyawa seperti binatang.









Bab IV
Strategi Penginjilan terhadap Suku Boti Timor Tengah Selatan NTT 
           
            Dari data yang penulis dapatkan bahawa Banyak kaum tua Boti yang tidak lancar bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia termasuk sang raja. Sehari-hari mereka menggunakan bahasa daerah Dawan. Namun demikian bahasa bukan halangan bagi warga Boti untuk menyambut tamu-tamu mereka yang datang ke desa mereka. Keramahan dan senyum hangat mereka rasanya sudah lebih dari cukup sebagai media komunikasi, simbol keterbukaan mereka terhadap para pengunjung yang ingin merasakan kedamaian dan kesahajaan di Desa Boti.oleh sebab itu penulis berniat untuk belajar dan memperdalam bahasa Timor Dawan untuk bisa masuk kedalam suku Boti dan dapat memberitakan kabar keselamatan dari Yesus Kristus.[17]
Setelah penulis berhasil mempelajari bahasa Dawan penulis akan menetap untuk beberapa lama agar bisa lebih dekat dan akrab dengan masyarakat suku Boti. Dengan kedekatan itu penulis lebih mudah memasukan Injil didalam budaya dan kepercayan mereka. Penulis akan memberitakan bahwa Uis Neno sebagai papa atau bapak yang merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia.[18] Pehamana suku Boti Yang selama ini mereka percayai adalah Yesus Kristus dan hanya melalui Yesus Kristus saja setiap orang bisa masuk surga, dengan percaya kepada Yesus kita semua sudah memperoleh jaminan untuk masuk surga. Demikianlah strategi yang akan penulis pakai untuk memenagkan suku Boti.








Bab V
Kesimpulan

            Jumlah suku Boti semakin berkurang tetapi meski jumlah penduduk Boti Dalam makin berkurang, namun mereka masih survive tetap melaksanakan upacara-upacara peninggalan nenek moyang mereka. Suku Boti dikenal sangat memegang teguh keyakinan dan kepercayaan mereka yang disebut Halaika. Mereka percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah sebagai mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Sedangkan Uis Neno sebagai papa atau bapak yang merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia.
Suku Boti adalah suku yang sangat kuat memegang kepercayaannya dan penulis ingin memasukan injil melalui pemahaman tetang kepercayaannya selama ini. Bahwa melalui  Yesus kristus  saja setiap orang bisa masuk surga, dengan percaya kepada Yesus kita semua sudah memperoleh jaminan untuk masuk surga. Dan penulis mengambil keputusan bahwa panggilan buat Yesus Kristus adalah Uis Neno menurut pemahaman suku Boti.









Lampiran


Foto Kabupaten Timor Tengah Selatan dibagian lebah adalah tempat kediaman suku Boti



           
(Almarhum Raja Boti Usif Nune Benu.)   (Raja Boti, Usif Nama Benu)
(Kegiatan sehari-hari menenun dan memintal)


[2]Untuk foto-foto kabupaten timor tengah selatan dapat dilihat di Bab Lampiran.
[3]Hasil wawancara dengan Pdt. Ferdinan K. Sinlae  Gembala Sidang Gereja Bethel Injil Sepenuh Elshadday di Kupang, pada tanggal 10 Oktober  2011 pukul 10.00 WIB. (via telepon)
[4]Nama Benu merupakan anak laki-laki ke dua atau anak ketiga dari Nune Benu yang diangkat menjadi raja baru suku Boti setelah raja lama Nune Benu meninggal dunia. Kakak lelakinya yang bernama Muke Benu telah memeluk agama Kristen sehingga kehilangan hak menjadi raja Boti dan harus meninggalkan kompleks istana Boti. Usianya saat ini sudah sekitar 40 tahun namun belum menikah karena itu, saat penelitian ini, belum menggunakan konde pada rambutnya. Ia tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia seperti ayahnya. Kharismanya sudah tampak pada sikapnya yang sangat hati-hati dalam berbicara. Ia juga melakukan kegiatan-kegiatan doa-doa terhadap Uis Neno dan Uis Pah yang ada di dalam alam. Menurutnya doa harus menggunakan sarana alam berupa batu yang ditempelkan ke tanah dan di atasnya ditaruh kayu dengan tangan yang akan menghubungkan dirinya dengan alam
[5]Alfin, Pos Kupang Edisi Minggu 29 Juni 2008, halaman 11 (diambil 23 Oktober 2011)  
[6]Hasil wawancara dengan Pdt. Ferdinan K. Sinlae  Gembala Sidang Gereja Bethel Injil Sepenuh Elshadday, pada tanggal 21 Oktober  2011 pukul 11.00 WIB.
[8]Alfin, Pos Kupang Edisi Minggu 29 Juni 2008, halaman 11 (diambil 23 Oktober 2011)  
[9]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Proyek Pembinaan Permuseuman, 1996/1997: 7(diambil 21 November 2011 )
[10]Hasil wawancara dengan Marten Kase  warga kabupaten Timor Tengah Selatan, pada tanggal 21 Oktober  2011 pukul 11.00 WIB.   
[12]ADM, Parera. Sejarah Pemerintahan Raja-Raja Timor.( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999)44.
[14] Usif Nama Benu adalah anak dari  raja Usif Nune Benu yang telah wafat dan  Usif Nama Benu sekarang menjabat sebagai raja suku Boti.
[16]Imelda Chr. Tunliu (“Suku Boti” dalam mata kuliah Agama Suku dan Kebatinan pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.)

[17]Jimmy Walles, http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Boti (Diambil 24 November 2011)   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar