ANGKATAN 2008

ANGKATAN 2008

Kamis, 09 Agustus 2012

PESERTA DIDIK DALAM PAK

Oleh: Ronald Y. Sinlae, S.Th

BAB 1
PENDAHULUAN

Pendidikan Agama Kristen berpangkal kepada persekutuan umat Tuhan di dalam Perjanjian Lama.[1] Pendidikan Kristen sendiri oleh Prof. Robert W. Pazmino diartikan sebagai “usaha bersengaja dan sistematis, ditopang oleh upaya rohani dan manusiawi untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, keterampilan-keterampilan, dan tingkah laku yang bersesuaian atau konsisten dengan iman Kristen, dalam rangka mengupayakan perubahan, pembaharuan dan reformasi pribadi-pribadi, kelompok bahkan struktur oleh kuasa Roh Kudus, sehingga peserta didik hidup sesuai dengan kehendak Allah”.
Pendidikan agama Kristen tidak hanya terbatas di sekolah formal saja, tetapi juga meliputi pendidikan di keluarga maupun di gereja.[2] Berbicara mengenai usaha pendidikan, maka mau tidak mau selalu ada pendidik dan peserta didik, yang merupakan unsur utama yang membentuk pendidikan. Dalam hal ini, keduanya merupakan kopartner di dalam Pendidikan Agama Kristen.[3] Kopartner ini dapat diartikan secara bebas sebagai rekan sekerja. Dengan mempertanyakan siapakah kopartner dalam PAK, sesungguhnya yang hendak dibahas adalah mengenai persepsi kita tentang pendidik, maupun persepsi kita tentang peserta didik. Dengan kata lain, kita hendak membahas identitas kita sebagai pendidik dan peserta didik. Berbicara mengenai kopartner, yaitu berbicara tentang rekan , atau hubungan kerjasama yang baik antra pihak yang satu dengan yang lain. Dr. Yusak Hadisiswantoro dalam bukunya tentang “Partner Rohani”(Spiritual Partnership) menulis bahwa Partner Rohani adalah suatu program yang  dibuat dengan tujuan agar setiap orang percaya atau anggota gereja memiliki rekan atau sahabat rohani dalam gereja Tuhan. Dengan demikian diharapkan semua anggota  gereja yang ada bisa saling memperhatikan.[4]
John Maxwell mengatakan dalam bukunya ”Partners in Prayer”, bahwa ketika sekelompok orang dengan sunggoh-sungguh dalam jaringan doa yang dibuatnya, maka hasilnya adalah peningkatan pendapatan gereja dan jumlah jemaat.
Didalam dunia pendidikan selalu ada pendidik dan yang didik (peserta didik). Dengan mempertanyakan siapakah kopartner dalam PAK, sesungguhnya yang hendak dibahas adalah masalah persepsi kita tentang diri sendiri, sebagai pendidik maupun tentang peserta didik. Tujuannya memberikan kesadaran akan asumsi-asumsi antropologis yang mendasari kegiatan pendidikan kita dalam PAK.


BAB 2
PESERTA DIDIK DALAM PAK

Groome dalam bukunya Christian Religious Education mengatakan bahwa peserta didik adalah saudara sepengembaraan bersama dengan pendidik dalam kurun waktu tertentu. Mereka memiliki pandangan hidup dan tujuan sendiri yang unik. Konsep yang diusulkan Groome mengenai peserta didik dapat diringkas dalam dua hal, yaitu:

1.      Peserta Didik adalah Subyek dan Bukan Obyek
Menurut Groome, seringkali banyak pendidik termasuk pendidik dalam PAK, menganggap peserta didik sebagai obyek dari pendidikan. Secara teologis, kita harus mengatakan bahwa sesungguhnya mereka mempunyai hak yang melekat pada dirinya untuk diperlakukan dengan penghargaan oleh karena mereka memiliki individualitasnya sendiri, dan lebih dari itu mereka mempunyai kapasitas atau kemampuan untuk merespons panggilannya sendiri.
Pendapat Groome tersebut di atas cukup masuk akal dan dapat diterima, atau lebih tepatnya dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan sekaligus kritisi untuk para pendidik mengenai konsep tentang peserta didik yang selama ini dianut. Peserta didik harus diperlakukan sebagai subyek terutama karena kita percaya sesuai dengan antropologi Alkitab bahwa semua orang diciptakan menurut gambar Allah.[5] Peserta didik kita dan kita sebagai pendidik sedang berada dalam perjalanan bersama, yang mempunyai panggilan dan juga hak untuk bertumbuh dalam kesegambaran dengan Pencipta kita.
Perjalanan setiap orang menuju kepada Allah adalah suatu yang suci, dan setiap orang dengan caranya sendiri merupakan suatu yang unik. Oleh sebab itu, peserta didik bukanlah obyek yang dapat diperlakukan atau dibentuk menurut kemauan kita, melainkan merupakan subyek dengan siapa kita masuk dalam suatu hubungan kesalingan dan kesederajatan. Sebagai subyek, maka peserta didik kita mempunyai hak untuk mengatakan kata-kata mereka sendiri dan untuk memberi nama kepada realitas mereka sendiri. Sebagai pendidik, kita juga memiliki hak untuk mengatakan kata-kata kita sendiri dan merupakan suatu kewajiban untuk mendengarkan mereka.[6]
Kita selalu diingatkan akan fakta bahwa manusia yang seutuhnyalah yang dapat berpikir, berpersepsi, berkeinginan dan memiliki kehendak. Dengan demikian pendidikan anak atau seseorang seharusnya dianggap sebagai satu kesatuan proses. Sangat bodoh jika kita berpikir bahwa kita dapat mengajarkan pengetahuan kita tanpa mengarahkan minat, mengisi kepala dengan pengetahuan tanpa mempengaruhi emosi, inklinasi, keinginan, serta aspirasi dari hatinya. Melatih kepala dan hati harus berjalan bersama-sama, dan pada keduanya ini terdapat fakta mendasar bahwa anak (peserta didik) adalah pembawa gambar Allah harus menjadi faktor penentu.[7] Ketika seorang pendidik memperlakukan peserta didiknya sebagai obyek, maka sebenarnya yang ia lakukan adalah berusaha menjadikan peserta didik tersebut sebagai sasaran “pemindahan” materi pengetahuan dan menciptakan miniatur dirinya secara intelektual, namun ia lupa bahwa seorang peserta didik memiliki aspek-aspek lain, yaitu kemampuan berpikir, dan hati. Peserta didik mempunyai kehendaknya sendiri dan secara alami dibekali kemampuan untuk mengambil keputusan-keputusan untuk dirinya sendiri. Mungkin saja kita bisa membentuk intelektualnya dengan memberi materi-materi tertentu, tetapi kita tidak dapat membentuk hatinya dan kehendaknya sesuai keinginan kita secara semena-mena dan dengan begitu mudah, sebab mereka bukanlah benda mati atau ‘obyek’ semata-mata.
Di dalam hubungan kesederajatan ini, maka ada kesempatan bagi kita sebagai pendidik untuk membagi apa yang kita miliki (baik iman dan visi maupun pengharapan kita). Namun kita juga harus membantu mereka untuk mengetahui pengalaman iman dan visinya sendiri. Hal ini juga sesuai dengan teladan Yesus sendiri. Dapat dikatakan bahwa Yesus mendekati orang-orang berdosa sebagai subyek. Manusia sebagai subyek mempunyai kemerdekaan dan tanggung jawab pribadi. Dalam kaitan ini manusia tidak terhisap kepada masyarakatnya sehingga tanggung jawab pribadi hilang dan diemban oleh masyarakat. Manusia adalah individu yang berada dalam proses untuk menuju kedewasaan yang sempurna (Mat 5:48), dan proses dapat dilewati melalui interaksi di dalam hubungan di antara sesama manusia dalam kebudayaan masing-masing.[8] Jadi, persepsi pertama kita mengenai peserta didik adalah bahwa mereka merupakan subyek yang perlu diperlakukan dengan hormat, dan dengan siapa kita masuk dalam hubungan antar subyek.

2.      Peserta Didik (seperti juga pendidik) Dipanggil dan Mampu Untuk Menjadi Pencipta-pencipta Sejarah
Manusia, sebagai makhluk ciptaan yang sempurna, memiliki potensi untuk mengambil keputusan dan memberi andil atau warna dalam kehidupan. Manusia tidak seharusnya menjadi pion yang terpenjara dalam roda nasib yang tidak bisa dihindari. Manusia tidak hanya dibentuk oleh sejarah, tetapi juga membentuk sejarah. Artinya, kita dapat memberi andil dalam menentukan apa yang akan terjadi di masa depan, dengan membuat pilihan-pilihan dan melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada perubahan yang baik. Untuk hidup layak, di masa lalu seorang manusia modern harus terus-menerus mengambil berbagai pilihan di dalam hidup sehari-harinya. Ada pilihan-pilihan yang berdampak jangka pendek, dan ada pilihan-pilihan yang berdampak jangka panjang.[9]
 Dalam konteks pembentukan iman Kristen, hal ini berarti bahwa peserta didik dapat mencapai kesadaran yang menyebabkan mereka mampu menghadirkan Kerajaan Allah serta mempersiapkan penyempurnaannya. Hal ini merupakan tugas bersama baik pendidik maupun peserta didik. Apa yang dikatakan disini sesungguhnya mempunyai implikasi yang jauh terhadap bagaimana kita melakukan tugas PAK, yakni untuk melihat peserta didik kita sebagai  umat yang terpanggil untuk terlibat dalam dunia ini demi menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah dan membentuk masa kini ke arah penyempurnaan Kerajaan Allah.
Memperlakukan peserta didik sebagai subyek-subyek dan pencipta sejarah, menghendaki suatu pergeseran yang pokok dalam kesadaran kebanyakan para pendidik PAK. Kita perlu melihat secara kritis biografi pendidikan serta model yang membentuk kita, sebab pada umumnya hal tersebut sangat mempengaruhi cara kita mendidik. Sudah tentu perlu diakui bahwa tidak mudah untuk memenuhi semua ideal kita, karena sementara kita sendiri menunjuk ke depan bagi para peserta didik kita, maka sebenarnya kita juga menunjuk ke depan bagi diri sendiri. Artinya, kita masih terus bertumbuh dan berkembang menuju fungsi yang ideal dari PAK itu sendiri. Masalah lain yang ikut mempersulit kita untuk memperlakukan peserta didik sebagai subyek ialah struktur sosial dimana pendidikan itu terjadi.[10]
PAK sesungguhnya hadir bagi dan oleh seluruh jemaat, dan bertujuan untuk membimbing jemaat menuju kepada kedewasaan iman Kristen. Biasanya PAK mulai diajarkan pada anak-anak karena hal tersebut justru dapat mengembangkan hubungan intersubyek dengan anak-anak, yang bila kita lihat di dalam masyarakat hal tersebut justru terjadi sebaliknya yaitu bahwa anak-anak diperlakukan sebagai obyek. Tulisan-tulisan tentang sejarah masa kanak-kanak menunjukkan bahwa banyak dari penyakit sosial harusnya ditemukan akarnya dalam penindasan, dimana anak selama ini telah diperlakukan dengan kurang baik. Kita tidak boleh melupakan bahwa pada hakekatnya, anak-anak pun merupakan pribadi-pribadi. Singkatnya, persepsi kita tentang siapakah peserta didik kita akan mempengaruhi sikap dan perlakuan kita terhadap mereka. Persepsi didasarkan pada asumsi teologis yang menghargai peserta didik sebagai subyek, yang mempunyai panggilan serta mampu menjadi pencipta sejarah. Tugas kita untuk menolong mereka merealisasikan potensinya tersebut dalam realitas sosial.




BAB 3
PENDIDIK DALAM PAK


Harus diakui bahwa banyak dari pendidik telah kehilangan identitas tentang siapa sesungguhnya dirinya dan apa yang ia harapkan dari dirinya dalam konteks persekutuan iman. Sekalipun banyak pemaparan yang mengetengahkan mengenai tugas-tugas pendidik, namun itu belum memberikan gambaran yang utuh dan jelas mengenai siapa sebenarnya pendidik itu, khususnya di dalam kerangka PAK.
Gereja mula-mula mengakui pendidik (didaskaloi) sebagai pelayan-pelayan di antara berbagai pelayanan (band. 1 Kor 12:28; Ef 4:11). Kita pun seharusnya kembali melihat peranan pendidik sebagai suatu pelayanan Kristen yang valid dan otentik yang bekerja sama dengan pelayanan-pelayanan yang lain demi kebaikan ‘seluruh tubuh’. Pendidik dalam PAK bukan sekedar penolong pendeta, akan tetapi pada pihak lain hak mendidik bukanlah hak khusus dari pendidik (pengajar; guru) PAK saja, sebab pelayan-pelayan lain pun sesungguhnya mempunyai kewajiban untuk mendidik. Jadi semua orang Kristen memiliki tanggung jawab mendidik.[11] Tugas mendidik adalah menolong seorang manusia untuk memiliki pemahaman yang sehat mengenai hidup, gambar diri yang sehat, serta persepsi-persepsi yang akurat tentang lingkungannya sehingga mengenali pilihan-pilihan yang ada dan mampu mengambil pilihan yang tepat.[12] Berikut kita akan melihat siapa-siapa yang disebut atau bertanggung jawab sebagai pendidik, yaitu:
1.      Orangtua (keluarga)
Allah telah menunjukkan pada kita siapa yang dianggap sebagai pendidik yang bertanggung jawab dari seorang anak, ialah orangtua. Orang tua menjaga mereka sampai mereka bisa mandiri dan orangtua diarahkan oleh cinta kebapaannya untuk menyediakan kebutuhan fisik, mental, moral dan spiritual anak-anaknya. Orangtua menuntun, melindungi dan mendukung kepentingan mereka yang utama. Oleh karena itu wajar bila orangtua harus menjadi pendidik yang bertanggung jawab. Jika orangtua merasa terpaksa untuk harus meminta bantuan dari orang-orang lain, orang-orang ini harus merasa bahwa mereka berada di posisi sebagai pengganti orangtua (loco parentis).[13] Pendidikan agama dalam keluarga merupakan dasar bagi seluruh pendidikan lainnya dalam masyarakat. Oleh karena itu, sebaiknya pokok-pokok utama dari kepercayaan Kristen sebaiknya mulai dipelajari dan dikenal oleh manusia justru di dalam lingkungan keluarga Kristen.[14]

2.      Guru PAK (di sekolah-sekolah formal)
Peran guru dewasa ini telah mengalami pergeseran, dari yang dominan sebagai satu-satunya sumber informasi menjadi fasilitator, motivator, dinamisator dan inspirator.[15] Guru di sekolah-sekolah formal harus berjalan seiring dengan keluarga sebagai pendidik untuk membantu para peserta didik bertumbuh dan berkembang sesuai dengan kehendak Allah.
Para psikolog mengingatkan kita akan fakta bahwa pendidikan adalah suatu proses yang bersifat kesatuan. Dengan demikian, merupakan suatu kebodohan bila agen pendidikan yang paling penting pada saat ini harus mengabaikan elemen yang paling fundamental dalam pendidikan; dan juga bahwa pendidikan sekolah harus merupakan antitesis dari semangat yang ada di dalam keluarga Kristen, karena hal ini akan menghasilkan kehidupan yang terpecah.[16] Guru, di dalam hal ini memiliki tanggung jawab penting, di antaranya: (a) sebagai penafsir iman Kristen; (b) sebagai gembala bagi murid-muridnya; (c) menjadi pedoman dan pemimpin; (d) guru adalah seorang penginjil.
3.      Pendeta
Di dalam PAK, pendeta memiliki tugas: (a) sebagai penilik umum bagi segala cabang pendidikan agama itu; (b) membela dan mempropagandakan PAK; (c) mempelajari segala soal mengenai PAK; (d) bekerja sama dengan sinodenya mengenai pokok PAK. Seharusnya pendeta menjadi seorang guru yang cakap.[17] B. Sidjabat merangkumkan peran seorang pendeta dalam 2 hal yaitu: sebagai penyelenggara PAK dan sebagai guru/pengajar PAK.
Pendeta dapat mengajar melalui mimbar maupun mengajar orang per orang atau juga melalui wadah pelayanan.[18] Pendetalah yang memberitakan dan menerangkan iman Kristen kepada anggota jemaat. Dialah yang wajib memberikan teladan tentang sikap hidup dan kelakuan Kristen, sebagaimana Tuhan Yesus mengibaratkan hubungan itu dengan seorang gembala beserta domba-dombanya. Supaya pendeta sanggup mengerjakan tugasnya sebagai guru, maka perlu dilatih sebaik-baiknya, dan latihan tersebut diberikan di dalam sekolah-sekolah teologi.[19]
4.      Jemaat (Gereja)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pendidikan merupakan satu kesatuan, dimana setiap jemaat memiliki tanggung jawab untuk mendidik anggota yang lain (khususnya anak-anak dan remaja/pemuda). Hal ini perlu disadari, sehingga di dalam keseharian mereka, mereka ingat bahwa apapun yang mereka lakukan dan bicarakan menjadi suatu ‘bahan pelajaran’ bagi orang-orang di sekitar mereka.

Setiap pendidik haruslah memiliki persepsi yang benar mengenai peranannya sebagai pendidik. Beberapa hal menyangkut persepsi tentang peranan pendidik di antaranya yaitu:
1.      Sebagai wakil Kristus[20]
Setiap pelayanan di dalam gereja yang mula-mula mempunyai tugas mewakili Kristus, yang bangkit dengan pelayanan dalam bentuk apapun baik kepada persekutuan iman maupun kepada dunia (Ef 4:11). Pelayanan dari pendidik adalah untuk menjadi pelayan firman, dimana pelayanannya adalah secara sadar ditujukan kepada proses sehingga orang dapat menginkarnasikan firman Allah dalam eksistensinya setiap hari. Pelayanan para pendidik dalam PAK bukan terutama untuk memberitakan, melainkan terutama untuk membentuk dan mendidik umat agar mempraktekkan berita Injil itu. Namun, perlu diingat bahwa sebelumnya, firman itu harus diterapkan dalam hidup kita (sebagai pendidik) terlebih dahulu.
2.      Sebagai “sahabat”[21]
Hasil dari survey telah membuktikan bahwa 80% pendidikan yang diterima oleh seorang anak di dalam keluarga ikut membentuk karakter dan masa depan si anak. Bila anak tidak tumbuh dalam keluarga yang bersahabat, maka akibatnya mereka akan melihat dunia sebagai dunia yang tidak ramah dan perlu dilawan. Lingkungan pendidikan di sekolah dapat entah memperparah atau mengurangi dan mengatasi luka tersebut. Hal tadi tergantung pada bagaimana pendidik memainkan peran mereka.bila mereka berperan sebagai sahabat bagi peserta didiknya, maka terbuka peluang untuk para peserta didik memperoleh gambar diri yang sehat dan benar.
Sebagai sahabat, seorang pendidik dapat menolong peserta didiknya untuk meras diterima, dihargai, dan dianggap penting. Selanjutnya, hal ini akan memberikan pengaruh positif dalam pengembangan potensi peserta didik sesuai dengan anugerah Allah. Sebagai sahabat, pendidik juga dapat menolong peserta didik untuk mengenali pilihan-pilihan yang tersedia dalam keadaan paling sulit sekalipun. Akhirnya, sebagai sahabat pendidik dapat menolong mereka untuk mengambil salah satu pilihan sehingga mereka mencapai kemandirian.
Dengan demikian, sesungguhnya pendidik dalam PAK mampu untuk memilih kehidupan dan untuk menjalani kehidupan masa kini mereka secara manusiawi dan dengan sukacita. Namun pada saat yang sama, mereka juga mempunyai tugas untuk menolong orang lain menjalani kehidupannya seperti itu juga di dalam Yesus Kristus.




BAB 4
KESIMPULAN
           
            Secara teologis kita mengetahui bahwa peserta didik adalah mereka yang diajar dan mengajar, sebab mereka yang diajar membutuhkan bimbingan namun mereka bukanlah objek sebab mereka adalah subjek. Subjek adalah sesuatu yang memiliki kehendak dan kemauan dalam lingkup kopartner PAK. Subjek tidak hanya peserta namun juga pendidik karena adanya gambar Allah dalam setiap manusia.
Sebagai makhluk ciptaan yang sempurna, manusia memiliki potensi untuk mengambil keputusan dan memperdayakan kemampuan dalam kehidupan. Manusia tidak seharusnya menjadi objek yang terpenjara dalam roda nasib yang tidak bisa dihindari. Manusia tidak hanya dibentuk oleh sejarah, tetapi juga membentuk sejarah.



[1] Menurut E. G. Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) : PAK dimulai dengan terpanggilnya Abraham menjadi nenek moyang umat pilihan Allah, bahkan PAK berpokok kepada Allah sendiri, karena Allah yang menjadi Pendidik Agung bagi umat-Nya. Oleh sebab itu, untuk menemukan akar-akar dari PAK, kita harus menggali dalam Alkitab.
[2] B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta : Yayasan ANDI)
[3] Di dalam istilah lain disebutkan bahwa pendidik dan peserta didik merupakan pelaku pendidikan. B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta : Yayasan ANDI)
[4] Yusak Hadisiswantoro. “Partner Rohani”, Kiat membawa Jemaat dalam visi Tuhan. (Manorah Books. Surabaya) 7.
[5] Lebih lanjut Berkhof mengatakan bahwa manusia adalah pembawa gambar Allah yang Mahatinggi di setiap saat dan di segala tempat. Memisahkan gambar Allah dari manusia sama dengan merampas kemanusiaannya. Gambar Allah adalah hal yang paling mendasar dalam kemanusiaan secara umum, dan karenanya berlaku pada anak (peserta didik) secara khusus. Hal yang paling esensial pada seorang anak tidak dapat diabaikan dalam pendidikannya tanpa melakukan ketidakadilan kepada anak maupun Penciptanya dan tanpa menyelewengkan pendidikannya. Karena dosa, manusia kehilangan kualitas moral dan spiritual yang merupakan gambar Allah dalam pengertian yang lebih sempit, tetapi ini bukan berarti ia sudah tidak lagi menjadi pembawa gambar Allah. Manusia tetaplah makhluk rasional dan moral, yang dapat membedakan apa yang baik dan jahat, serta menunjukkan penghargaan yang jelas tentang apa yang benar, baik dan indah. Louis Berkhof & Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya: Momentum, 2004)47. Di dalam istilah lain, siswa juga disebut “subyek belajar”, yang sebagai individu memiliki kapasitas, bakat khusus, motivasi, kebiasaan, kematangan, dll. Odhita R. Hutabarat, Model-model Pembelajaran Aktif Pendidikan Agama Kristen SD, SMP, SMA Berbasis Kompetensi (Bandung: Bina Media Informasi, 2005)28-29.
[6] Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung : Jurnal Info Media, 2007   )154-155.
[7] Louis Berkhof & Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya: Momentum, 2004)48.
[8] Dosen-Dosen STT HKBP & FKIP Nommensen Pematangsiantar, Pendidikan Agama Kristen (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1994)62-63.
[9] Robby I. Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi Infomedia, 2006)62.
[10] Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal Info Media, 2007)156-158.
[11] Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal Info Media, 2007)160.
[12] Robby I. Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi Infomedia, 2006)86.
[13] [13] Louis Berkhof & Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya: Momentum, 2004)42-43.
[14] E. G. Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996)
[15] Odhita R. Hutabarat, Model-model Pembelajaran Aktif Pendidikan Agama Kristen SD, SMP, SMA Berbasis Kompetensi (Bandung: Bina Media Informasi, 2005)36.
[16] Louis Berkhof & Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya: Momentum, 2004)58-59.
[17] E. G. Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996)
[18] B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta: Yayasan ANDI)
[19] E. G. Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996)
[20] Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal Info Media, 2007)160.
[21] Robby I. Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi Infomedia, 2006)96.

Admint : Renal