Oleh: Ronald Y. Sinlae, S.Th
BAB 1
PENDAHULUAN
Pendidikan
Agama Kristen berpangkal kepada persekutuan umat Tuhan di dalam Perjanjian
Lama.[1]
Pendidikan Kristen sendiri oleh Prof. Robert W. Pazmino diartikan sebagai “usaha
bersengaja dan sistematis, ditopang oleh upaya rohani dan manusiawi untuk
mentransmisikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap,
keterampilan-keterampilan, dan tingkah laku yang bersesuaian atau konsisten
dengan iman Kristen, dalam rangka mengupayakan perubahan, pembaharuan dan
reformasi pribadi-pribadi, kelompok bahkan struktur oleh kuasa Roh Kudus,
sehingga peserta didik hidup sesuai dengan kehendak Allah”.
Pendidikan
agama Kristen tidak hanya terbatas di sekolah formal saja, tetapi juga meliputi
pendidikan di keluarga maupun di gereja.[2]
Berbicara mengenai usaha pendidikan, maka mau tidak mau selalu ada pendidik dan
peserta didik, yang merupakan unsur utama yang membentuk pendidikan. Dalam hal
ini, keduanya merupakan kopartner di dalam Pendidikan Agama Kristen.[3] Kopartner
ini dapat diartikan secara bebas sebagai rekan sekerja. Dengan mempertanyakan
siapakah kopartner dalam PAK, sesungguhnya yang hendak dibahas adalah mengenai
persepsi kita tentang pendidik, maupun persepsi kita tentang peserta didik.
Dengan kata lain, kita hendak membahas identitas kita sebagai pendidik dan
peserta didik. Berbicara mengenai kopartner, yaitu berbicara tentang rekan ,
atau hubungan kerjasama yang baik antra pihak yang satu dengan yang lain. Dr.
Yusak Hadisiswantoro dalam bukunya tentang “Partner Rohani”(Spiritual
Partnership) menulis bahwa Partner Rohani adalah suatu program yang dibuat dengan tujuan agar setiap orang
percaya atau anggota gereja memiliki rekan atau sahabat rohani dalam gereja
Tuhan. Dengan demikian diharapkan
semua anggota gereja yang ada bisa
saling memperhatikan.[4]
John Maxwell mengatakan dalam bukunya ”Partners in
Prayer”, bahwa ketika sekelompok orang dengan sunggoh-sungguh dalam jaringan
doa yang dibuatnya, maka hasilnya adalah peningkatan pendapatan gereja dan
jumlah jemaat.
Didalam dunia pendidikan selalu ada pendidik dan
yang didik (peserta didik). Dengan mempertanyakan siapakah kopartner
dalam PAK, sesungguhnya yang hendak dibahas adalah masalah persepsi kita
tentang diri sendiri, sebagai pendidik maupun tentang peserta didik. Tujuannya
memberikan kesadaran akan asumsi-asumsi antropologis yang mendasari kegiatan
pendidikan kita dalam PAK.
BAB 2
PESERTA DIDIK
DALAM PAK
Groome dalam
bukunya Christian Religious Education mengatakan bahwa peserta didik
adalah saudara sepengembaraan bersama dengan pendidik dalam kurun waktu
tertentu. Mereka memiliki pandangan hidup dan tujuan sendiri yang unik. Konsep
yang diusulkan Groome mengenai peserta didik dapat diringkas dalam dua hal,
yaitu:
1.
Peserta Didik adalah Subyek dan Bukan
Obyek
Menurut Groome, seringkali banyak pendidik termasuk pendidik dalam PAK,
menganggap peserta didik sebagai obyek dari pendidikan. Secara teologis, kita
harus mengatakan bahwa sesungguhnya mereka mempunyai hak yang melekat pada
dirinya untuk diperlakukan dengan penghargaan oleh karena mereka memiliki
individualitasnya sendiri, dan lebih dari itu mereka mempunyai kapasitas atau
kemampuan untuk merespons panggilannya sendiri.
Pendapat Groome tersebut di atas cukup masuk akal dan dapat diterima,
atau lebih tepatnya dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan sekaligus kritisi
untuk para pendidik mengenai konsep tentang peserta didik yang selama ini
dianut. Peserta didik harus diperlakukan sebagai subyek terutama karena kita
percaya sesuai dengan antropologi Alkitab bahwa semua orang diciptakan menurut
gambar Allah.[5]
Peserta didik kita dan kita sebagai pendidik sedang berada dalam perjalanan
bersama, yang mempunyai panggilan dan juga hak untuk bertumbuh dalam
kesegambaran dengan Pencipta kita.
Perjalanan setiap orang menuju kepada Allah adalah suatu yang suci, dan
setiap orang dengan caranya sendiri merupakan suatu yang unik. Oleh sebab itu,
peserta didik bukanlah obyek yang dapat diperlakukan atau dibentuk menurut
kemauan kita, melainkan merupakan subyek dengan siapa kita masuk dalam suatu
hubungan kesalingan dan kesederajatan. Sebagai subyek, maka peserta didik kita
mempunyai hak untuk mengatakan kata-kata mereka sendiri dan untuk memberi nama
kepada realitas mereka sendiri. Sebagai pendidik, kita juga memiliki hak untuk
mengatakan kata-kata kita sendiri dan merupakan suatu kewajiban untuk
mendengarkan mereka.[6]
Kita selalu diingatkan akan fakta bahwa manusia yang seutuhnyalah yang
dapat berpikir, berpersepsi, berkeinginan dan memiliki kehendak. Dengan
demikian pendidikan anak atau seseorang seharusnya dianggap sebagai satu
kesatuan proses. Sangat bodoh jika kita berpikir bahwa kita dapat mengajarkan
pengetahuan kita tanpa mengarahkan minat, mengisi kepala dengan pengetahuan
tanpa mempengaruhi emosi, inklinasi, keinginan, serta aspirasi dari hatinya.
Melatih kepala dan hati harus berjalan bersama-sama, dan pada keduanya ini
terdapat fakta mendasar bahwa anak (peserta didik) adalah pembawa gambar Allah
harus menjadi faktor penentu.[7] Ketika
seorang pendidik memperlakukan peserta didiknya sebagai obyek, maka sebenarnya
yang ia lakukan adalah berusaha menjadikan peserta didik tersebut sebagai
sasaran “pemindahan” materi pengetahuan dan menciptakan miniatur dirinya secara
intelektual, namun ia lupa bahwa seorang peserta didik memiliki aspek-aspek
lain, yaitu kemampuan berpikir, dan hati. Peserta didik mempunyai kehendaknya
sendiri dan secara alami dibekali kemampuan untuk mengambil keputusan-keputusan
untuk dirinya sendiri. Mungkin saja kita bisa membentuk intelektualnya dengan
memberi materi-materi tertentu, tetapi kita tidak dapat membentuk hatinya dan
kehendaknya sesuai keinginan kita secara semena-mena dan dengan begitu mudah,
sebab mereka bukanlah benda mati atau ‘obyek’ semata-mata.
Di dalam hubungan kesederajatan ini, maka ada kesempatan bagi kita
sebagai pendidik untuk membagi apa yang kita miliki (baik iman dan visi maupun
pengharapan kita). Namun kita juga harus membantu mereka untuk mengetahui
pengalaman iman dan visinya sendiri. Hal ini juga sesuai dengan teladan Yesus
sendiri. Dapat dikatakan bahwa Yesus mendekati orang-orang berdosa sebagai
subyek. Manusia sebagai subyek mempunyai kemerdekaan dan tanggung jawab
pribadi. Dalam kaitan ini manusia tidak terhisap kepada masyarakatnya sehingga
tanggung jawab pribadi hilang dan diemban oleh masyarakat. Manusia adalah
individu yang berada dalam proses untuk menuju kedewasaan yang sempurna (Mat
5:48), dan proses dapat dilewati melalui interaksi di dalam hubungan di antara
sesama manusia dalam kebudayaan masing-masing.[8] Jadi,
persepsi pertama kita mengenai peserta didik adalah bahwa mereka merupakan
subyek yang perlu diperlakukan dengan hormat, dan dengan siapa kita masuk dalam
hubungan antar subyek.
2.
Peserta Didik (seperti juga pendidik)
Dipanggil dan Mampu Untuk Menjadi Pencipta-pencipta Sejarah
Manusia, sebagai makhluk ciptaan yang sempurna, memiliki potensi untuk
mengambil keputusan dan memberi andil atau warna dalam kehidupan. Manusia tidak
seharusnya menjadi pion yang terpenjara dalam roda nasib yang tidak bisa
dihindari. Manusia tidak hanya dibentuk oleh sejarah, tetapi juga membentuk
sejarah. Artinya, kita dapat memberi andil dalam menentukan apa yang akan
terjadi di masa depan, dengan membuat pilihan-pilihan dan melakukan
tindakan-tindakan yang mengarah pada perubahan yang baik. Untuk hidup layak, di
masa lalu seorang manusia modern harus terus-menerus mengambil berbagai pilihan
di dalam hidup sehari-harinya. Ada pilihan-pilihan yang berdampak jangka
pendek, dan ada pilihan-pilihan yang berdampak jangka panjang.[9]
Dalam konteks pembentukan iman
Kristen, hal ini berarti bahwa peserta didik dapat mencapai kesadaran yang
menyebabkan mereka mampu menghadirkan Kerajaan Allah serta mempersiapkan
penyempurnaannya. Hal ini merupakan tugas bersama baik pendidik maupun peserta
didik. Apa yang dikatakan disini sesungguhnya mempunyai implikasi yang jauh
terhadap bagaimana kita melakukan tugas PAK, yakni untuk melihat peserta didik
kita sebagai umat yang terpanggil untuk
terlibat dalam dunia ini demi menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah dan
membentuk masa kini ke arah penyempurnaan Kerajaan Allah.
Memperlakukan peserta didik sebagai subyek-subyek dan pencipta sejarah,
menghendaki suatu pergeseran yang pokok dalam kesadaran kebanyakan para
pendidik PAK. Kita perlu melihat secara kritis biografi pendidikan serta model
yang membentuk kita, sebab pada umumnya hal tersebut sangat mempengaruhi cara
kita mendidik. Sudah tentu perlu diakui bahwa tidak mudah untuk memenuhi semua
ideal kita, karena sementara kita sendiri menunjuk ke depan bagi para peserta
didik kita, maka sebenarnya kita juga menunjuk ke depan bagi diri sendiri.
Artinya, kita masih terus bertumbuh dan berkembang menuju fungsi yang ideal
dari PAK itu sendiri. Masalah lain yang ikut mempersulit kita untuk
memperlakukan peserta didik sebagai subyek ialah struktur sosial dimana
pendidikan itu terjadi.[10]
PAK sesungguhnya hadir bagi dan oleh seluruh jemaat, dan bertujuan
untuk membimbing jemaat menuju kepada kedewasaan iman Kristen. Biasanya PAK
mulai diajarkan pada anak-anak karena hal tersebut justru dapat mengembangkan
hubungan intersubyek dengan anak-anak, yang bila kita lihat di dalam masyarakat
hal tersebut justru terjadi sebaliknya yaitu bahwa anak-anak diperlakukan
sebagai obyek. Tulisan-tulisan tentang sejarah masa kanak-kanak menunjukkan
bahwa banyak dari penyakit sosial harusnya ditemukan akarnya dalam penindasan,
dimana anak selama ini telah diperlakukan dengan kurang baik. Kita tidak boleh
melupakan bahwa pada hakekatnya, anak-anak pun merupakan pribadi-pribadi.
Singkatnya, persepsi kita tentang siapakah peserta didik kita akan mempengaruhi
sikap dan perlakuan kita terhadap mereka. Persepsi didasarkan pada asumsi
teologis yang menghargai peserta didik sebagai subyek, yang mempunyai panggilan
serta mampu menjadi pencipta sejarah. Tugas kita untuk menolong mereka merealisasikan
potensinya tersebut dalam realitas sosial.
BAB 3
PENDIDIK DALAM PAK
Harus diakui
bahwa banyak dari pendidik telah kehilangan identitas tentang siapa
sesungguhnya dirinya dan apa yang ia harapkan dari dirinya dalam konteks
persekutuan iman. Sekalipun banyak pemaparan yang mengetengahkan mengenai
tugas-tugas pendidik, namun itu belum memberikan gambaran yang utuh dan jelas
mengenai siapa sebenarnya pendidik itu, khususnya di dalam kerangka PAK.
Gereja
mula-mula mengakui pendidik (didaskaloi) sebagai pelayan-pelayan di
antara berbagai pelayanan (band. 1 Kor 12:28; Ef 4:11). Kita pun seharusnya
kembali melihat peranan pendidik sebagai suatu pelayanan Kristen yang valid dan
otentik yang bekerja sama dengan pelayanan-pelayanan yang lain demi kebaikan
‘seluruh tubuh’. Pendidik dalam PAK bukan sekedar penolong pendeta, akan tetapi
pada pihak lain hak mendidik bukanlah hak khusus dari pendidik (pengajar; guru)
PAK saja, sebab pelayan-pelayan lain pun sesungguhnya mempunyai kewajiban untuk
mendidik. Jadi semua orang Kristen memiliki tanggung jawab mendidik.[11] Tugas
mendidik adalah menolong seorang manusia untuk memiliki pemahaman yang sehat
mengenai hidup, gambar diri yang sehat, serta persepsi-persepsi yang akurat
tentang lingkungannya sehingga mengenali pilihan-pilihan yang ada dan mampu
mengambil pilihan yang tepat.[12] Berikut
kita akan melihat siapa-siapa yang disebut atau bertanggung jawab sebagai
pendidik, yaitu:
1.
Orangtua (keluarga)
Allah telah menunjukkan pada kita siapa yang dianggap sebagai pendidik
yang bertanggung jawab dari seorang anak, ialah orangtua. Orang tua menjaga
mereka sampai mereka bisa mandiri dan orangtua diarahkan oleh cinta kebapaannya
untuk menyediakan kebutuhan fisik, mental, moral dan spiritual anak-anaknya.
Orangtua menuntun, melindungi dan mendukung kepentingan mereka yang utama. Oleh
karena itu wajar bila orangtua harus menjadi pendidik yang bertanggung jawab.
Jika orangtua merasa terpaksa untuk harus meminta bantuan dari orang-orang
lain, orang-orang ini harus merasa bahwa mereka berada di posisi sebagai
pengganti orangtua (loco parentis).[13]
Pendidikan agama dalam keluarga merupakan dasar bagi seluruh pendidikan lainnya
dalam masyarakat. Oleh karena itu, sebaiknya pokok-pokok utama dari kepercayaan
Kristen sebaiknya mulai dipelajari dan dikenal oleh manusia justru di dalam
lingkungan keluarga Kristen.[14]
2.
Guru PAK (di sekolah-sekolah formal)
Peran guru dewasa ini telah mengalami pergeseran, dari yang dominan
sebagai satu-satunya sumber informasi menjadi fasilitator, motivator, dinamisator
dan inspirator.[15]
Guru di sekolah-sekolah formal harus berjalan seiring dengan keluarga sebagai
pendidik untuk membantu para peserta didik bertumbuh dan berkembang sesuai
dengan kehendak Allah.
Para psikolog mengingatkan kita akan fakta bahwa pendidikan adalah
suatu proses yang bersifat kesatuan. Dengan demikian, merupakan suatu kebodohan
bila agen pendidikan yang paling penting pada saat ini harus mengabaikan elemen
yang paling fundamental dalam pendidikan; dan juga bahwa pendidikan sekolah
harus merupakan antitesis dari semangat yang ada di dalam keluarga Kristen,
karena hal ini akan menghasilkan kehidupan yang terpecah.[16] Guru,
di dalam hal ini memiliki tanggung jawab penting, di antaranya: (a) sebagai
penafsir iman Kristen; (b) sebagai gembala bagi murid-muridnya; (c) menjadi
pedoman dan pemimpin; (d) guru adalah seorang penginjil.
3.
Pendeta
Di dalam PAK, pendeta memiliki tugas: (a) sebagai penilik umum bagi
segala cabang pendidikan agama itu; (b) membela dan mempropagandakan PAK; (c)
mempelajari segala soal mengenai PAK; (d) bekerja sama dengan sinodenya
mengenai pokok PAK. Seharusnya pendeta menjadi seorang guru yang cakap.[17] B.
Sidjabat merangkumkan peran seorang pendeta dalam 2 hal yaitu: sebagai
penyelenggara PAK dan sebagai guru/pengajar PAK.
Pendeta dapat mengajar melalui mimbar maupun mengajar orang per orang
atau juga melalui wadah pelayanan.[18]
Pendetalah yang memberitakan dan menerangkan iman Kristen kepada anggota
jemaat. Dialah yang wajib memberikan teladan tentang sikap hidup dan kelakuan
Kristen, sebagaimana Tuhan Yesus mengibaratkan hubungan itu dengan seorang
gembala beserta domba-dombanya. Supaya pendeta sanggup mengerjakan tugasnya
sebagai guru, maka perlu dilatih sebaik-baiknya, dan latihan tersebut diberikan
di dalam sekolah-sekolah teologi.[19]
4.
Jemaat (Gereja)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pendidikan merupakan satu
kesatuan, dimana setiap jemaat memiliki tanggung jawab untuk mendidik anggota
yang lain (khususnya anak-anak dan remaja/pemuda). Hal ini perlu disadari,
sehingga di dalam keseharian mereka, mereka ingat bahwa apapun yang mereka
lakukan dan bicarakan menjadi suatu ‘bahan pelajaran’ bagi orang-orang di
sekitar mereka.
Setiap
pendidik haruslah memiliki persepsi yang benar mengenai peranannya sebagai
pendidik. Beberapa hal menyangkut persepsi tentang peranan pendidik di
antaranya yaitu:
1.
Sebagai wakil Kristus[20]
Setiap pelayanan di dalam gereja yang mula-mula mempunyai tugas
mewakili Kristus, yang bangkit dengan pelayanan dalam bentuk apapun baik kepada
persekutuan iman maupun kepada dunia (Ef 4:11). Pelayanan dari pendidik adalah
untuk menjadi pelayan firman, dimana pelayanannya adalah secara sadar ditujukan
kepada proses sehingga orang dapat menginkarnasikan firman Allah dalam
eksistensinya setiap hari. Pelayanan para pendidik dalam PAK bukan terutama
untuk memberitakan, melainkan terutama untuk membentuk dan mendidik umat agar
mempraktekkan berita Injil itu. Namun, perlu diingat bahwa sebelumnya, firman
itu harus diterapkan dalam hidup kita (sebagai pendidik) terlebih dahulu.
2.
Sebagai “sahabat”[21]
Hasil dari survey telah membuktikan bahwa 80% pendidikan yang diterima
oleh seorang anak di dalam keluarga ikut membentuk karakter dan masa depan si
anak. Bila anak tidak tumbuh dalam keluarga yang bersahabat, maka akibatnya
mereka akan melihat dunia sebagai dunia yang tidak ramah dan perlu dilawan.
Lingkungan pendidikan di sekolah dapat entah memperparah atau mengurangi dan
mengatasi luka tersebut. Hal tadi tergantung pada bagaimana pendidik memainkan
peran mereka.bila mereka berperan sebagai sahabat bagi peserta didiknya, maka
terbuka peluang untuk para peserta didik memperoleh gambar diri yang sehat dan
benar.
Sebagai sahabat, seorang pendidik dapat menolong peserta didiknya untuk
meras diterima, dihargai, dan dianggap penting. Selanjutnya, hal ini akan
memberikan pengaruh positif dalam pengembangan potensi peserta didik sesuai
dengan anugerah Allah. Sebagai sahabat, pendidik juga dapat menolong peserta
didik untuk mengenali pilihan-pilihan yang tersedia dalam keadaan paling sulit
sekalipun. Akhirnya, sebagai sahabat pendidik dapat menolong mereka untuk
mengambil salah satu pilihan sehingga mereka mencapai kemandirian.
Dengan
demikian, sesungguhnya pendidik dalam PAK mampu untuk memilih kehidupan dan
untuk menjalani kehidupan masa kini mereka secara manusiawi dan dengan
sukacita. Namun pada saat yang sama, mereka juga mempunyai tugas untuk menolong
orang lain menjalani kehidupannya seperti itu juga di dalam Yesus Kristus.
BAB 4
KESIMPULAN
Secara teologis
kita mengetahui bahwa peserta didik adalah mereka yang diajar dan mengajar,
sebab mereka yang diajar membutuhkan bimbingan namun mereka bukanlah objek
sebab mereka adalah subjek. Subjek adalah sesuatu yang memiliki kehendak dan
kemauan dalam lingkup kopartner PAK. Subjek tidak hanya peserta namun juga
pendidik karena adanya gambar Allah dalam setiap manusia.
Sebagai makhluk ciptaan yang sempurna, manusia memiliki potensi untuk
mengambil keputusan dan memperdayakan kemampuan dalam kehidupan. Manusia tidak
seharusnya menjadi objek yang terpenjara dalam roda nasib yang tidak bisa
dihindari. Manusia tidak hanya dibentuk oleh sejarah, tetapi juga membentuk
sejarah.
[1] Menurut
E. G. Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996) : PAK dimulai dengan terpanggilnya Abraham menjadi
nenek moyang umat pilihan Allah, bahkan PAK berpokok kepada Allah sendiri,
karena Allah yang menjadi Pendidik Agung bagi umat-Nya. Oleh sebab itu, untuk
menemukan akar-akar dari PAK, kita harus menggali dalam Alkitab.
[2] B.
Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta : Yayasan ANDI)
[3] Di dalam
istilah lain disebutkan bahwa pendidik dan peserta didik merupakan pelaku
pendidikan. B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta
: Yayasan ANDI)
[4] Yusak
Hadisiswantoro. “Partner Rohani”, Kiat
membawa Jemaat dalam visi Tuhan. (Manorah Books. Surabaya) 7.
[5] Lebih
lanjut Berkhof mengatakan bahwa manusia adalah pembawa gambar Allah yang
Mahatinggi di setiap saat dan di segala tempat. Memisahkan gambar Allah dari
manusia sama dengan merampas kemanusiaannya. Gambar Allah adalah hal yang
paling mendasar dalam kemanusiaan secara umum, dan karenanya berlaku pada anak
(peserta didik) secara khusus. Hal yang paling esensial pada seorang anak tidak
dapat diabaikan dalam pendidikannya tanpa melakukan ketidakadilan kepada anak
maupun Penciptanya dan tanpa menyelewengkan pendidikannya. Karena dosa, manusia
kehilangan kualitas moral dan spiritual yang merupakan gambar Allah dalam
pengertian yang lebih sempit, tetapi ini bukan berarti ia sudah tidak lagi
menjadi pembawa gambar Allah. Manusia tetaplah makhluk rasional dan moral, yang
dapat membedakan apa yang baik dan jahat, serta menunjukkan penghargaan yang
jelas tentang apa yang benar, baik dan indah. Louis Berkhof & Cornelius Van
Til, Foundations of Christian Education (Surabaya: Momentum, 2004)47. Di
dalam istilah lain, siswa juga disebut “subyek belajar”, yang sebagai individu
memiliki kapasitas, bakat khusus, motivasi, kebiasaan, kematangan, dll. Odhita
R. Hutabarat, Model-model Pembelajaran Aktif Pendidikan Agama Kristen SD,
SMP, SMA Berbasis Kompetensi (Bandung: Bina Media Informasi, 2005)28-29.
[6] Daniel
Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung : Jurnal Info
Media, 2007 )154-155.
[7] Louis Berkhof
& Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya:
Momentum, 2004)48.
[8]
Dosen-Dosen STT HKBP & FKIP Nommensen Pematangsiantar, Pendidikan Agama
Kristen (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1994)62-63.
[9] Robby I.
Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi Infomedia,
2006)62.
[10] Daniel
Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung:
Jurnal Info Media, 2007)156-158.
[11] Daniel
Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal Info
Media, 2007)160.
[12] Robby
I. Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi
Infomedia, 2006)86.
[13] [13] Louis
Berkhof & Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya:
Momentum, 2004)42-43.
[14] E. G.
Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996)
[15] Odhita
R. Hutabarat, Model-model Pembelajaran Aktif Pendidikan Agama Kristen SD,
SMP, SMA Berbasis Kompetensi (Bandung: Bina Media Informasi, 2005)36.
[16] Louis
Berkhof & Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya:
Momentum, 2004)58-59.
[17] E. G.
Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996)
[18] B.
Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta: Yayasan ANDI)
[19] E. G.
Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996)
[20] Daniel
Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal Info
Media, 2007)160.
[21] Robby
I. Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi
Infomedia, 2006)96.
Admint : Renal
Admint : Renal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar