ANGKATAN 2008

ANGKATAN 2008

Rabu, 17 April 2013

Ringkasan Filsafat Kristen Jonar Situmorang


Oleh: Ronald Y. Sinlae, S.Th. 


BAB I
PENGERTIAN, FAKTOR-FAKTOR PENDORONG LAHIRNYA FILSAFAT, FUNGSI DAN KEGUNAAN FILSAFAT

Sejarah Lahirnya Filsafat Di Yunani
Orang Yunani adalah orang orang yang sangat percaya akan dongeng dan takhayul, tetapi lama kelamaan terutama saat mereka mampu membedakan mana yang riil dan ilusi, mereka mampu keluar dari kungkungan mitologi dan mndapatkan dasar pengetahuan ilhmiah. inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mmpertanyakan dirinya dan alam jagad raya.
karena manusia selalu berhadapan dengan alam yang begitu luas dan penuh misteri, timbul rasa ingin mengetaui rahasia alam itu sendiri. lalu timbul pertanyaan dalam pikirannya, darimana datangnya alam ini, bagai mana kejadiaannya, bagaimana kemajuannya dan kemana tujuannya? pertanyaan semacam inilah yang menjadi pertanyaan kalangan filosof Yunani sehingga tak heran kemudian mereka disebut sebagai filosof alam karena perhatiannya yang begitu besar pada alam. filosof ini juga disebut filosof prasokrates.
Sekitar abad IX SM atau sekitar tahun 700 SM di Yunani dikenal dengan istilah Shopia yang berarti kebijaksanaan atau diartikan juga sebagai kecakapan. kata Philoshophos mula-mula dipergunakan oleh Heraklitos (540 SM). sementara ada juga yang mengatakan bahwa kata tersebut mula-mula dipakai Phytagoras. filosophos haruslah mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas sebagai wujud kecintaan terhadap pencarian kebenaran dan mulai jelas dipergunakan pada zaman kaum Sofis dan Socrates yang memberikan arti Philosophein sebagai penguasaan secara sistematis terhadap pengetahuan teoritis. philosophia adalah hasil dari perbuatan. dan philosofos adalah orang yang melakukan pemikiran dan perbuatan.
Pemikiran filsafat inilah yang memulai masa peralihan rakyat Yunani yang Mitosentris menjadi Logosentris, peristiwa peralihan  ini disebut the greek miracle yang artinya suatu peristiwa yang ajaib. Beberapa faktor yang mendahului lahirnya filsafat di Yunani, yaitu:
a) Mitologi bangsa Yunani ,
b) Kesusastraan Yunani ,dan
c) Pengaruh ilmu pengetahuan pada waktu itu sudah sampai di Timur Kuno.

Selain itu, terdapat lima kemampuan yang menanadai zaman pra-Yunani Kuno yaitu sebagai berikut:


a) Know how dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada pengalaman,
b) Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman yang diterima dengan sikap receptive mind,
c) Kemampuan menemukan abjad dan system bilangan alam,
d) Kemampuan menulis, menghitung dan menyususun kalender yang didasarkan atas sintesa terhadap hasil abstraksi yang dilakukan, dan
e) Kemampuan meramal suatu peristiwa yang sebelumnya yang pernah terjadi. 
            Tokoh yang diakui sebagai filsuf pertama dalam kebudayaan Barat adalah Thales dari Miletus. Thales adalah salah seorang dari ketujuh orang pandai, yang kesohor dalam cerita-cerita Yu­nani kuno, yaitu: Solon, Bias, Pittakos, Chilon, Periandos, dan Kleobulos. Ia adalah seorang saudagar yang banyak berlayar ke negeri Mesir, dan juga seorang ahli politik yang terkenal. Selain itu ia juga mempelajari matematika (imu pasti) dan astronomi (ilmu bintang). Tidak heran ia dijuluki oleh orang-orang sebagai ahli nujum dengan mempergunakan kepintarannya.[1] Ini terbukti ketika Thales menjalani profesinya itu pada tahun 585 SM, sebab ia mencapai ketenaran setelah berhasil meramalkan gerhana matahari yang terjadi pada tanggal 28 Mei 585 SM. Tetapi Paul Strathern menanggapi pendapat ini dengan mengatakan bahwa Thales menyontek pengetahuan dari peradaban Babylonia. Mere­ka ini disebut sebagai filsuf alam. Bagi orang Yunani, yang dimaksudkan dengan alam (=phusis) ialah kenyataan hayati dan kenyataan jasmani.[2]



BAB II
METODE PENELITIAN DALAM FILSAFAT


Metode berasal dari kata "tnethedeuo" (meqedeuw), yang berarti: "mengikuti jejak atau mengusut", menyelidiki dan meneliti. Methedeuo berasal dari kata "methodos" (meqodoj) Akar kata methodos adalah "meta" (meta) = "dengan", dan "hodos" ('odoj) = "jalan". Dalam hubungan dengan suatu upaya yang bersifat ilmiah; metode berarti: cara kerja yang teratur dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu objek yang dipermasalahkan, yang merupakan sasaran dari bidang ilmu tertentu.
Dalam arti luas metode berarti: "cara bertindak menurut sistem atau aturan tertentu". Dan secara khusus metode berarti cara berpikir menurut aturan atau sistem tertentu} Atau dapat juga disebutkan bahwa dengan adanya berbagai metode dapat berfungsi sebagai mengecek kebenaran dari kesimpulan-kesim­pulan yang dikemukakan. Karena filsafat itu sendiri berusaha untuk mencari kebenaran yang hakiki. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar dalam filsafat untuk selalu mengecek dan recek atas kesimpulan-kesimpulan. Mohammad Noor Syam2 mengartikan metode sebagai berikut:
1)     Suatu prosedur yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan.
2)     Suatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses men­cari ilmu pengetahuan dari suatu materi tertentu.
3)     Suatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.
              Metode merupakan syarat terjadinya efisien usaha atau peker­jaan demi tercapainya tujuan. Tanpa metode tertentu, arah peker­jaan menjadi tidak terjamin dalam mencapai tujuan. Metode ada­lah syarat suatu ilmu.
              Metode penelitian dalam filsafat dapat diartikan "suatu cara atau jalan yang ditempuh dalam suatu proses tindakan/rangkaian langkah yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk memperoleh pemecahan permasalahan atau jawaban atas per­tanyaan tentang kefilsafatan''.
              Metode perlu kita ketahui agar kita lebih mudah mempelajari filsafat. Dengan metode itu kita diantar pada tujuan. Karena metode itu merupakan jalan, kita tidak akan sampai tujuan jika tidak mengetahui jalannya.
              Di bawah ini adalah metode-metode yang dipakai dalam pene­litian filsafat berdasarkan buku "Metodologi Penelitian Filsafat" oleh Anton Bakker & Achmad Charris Zubair (Kanisius, Yogya­karta), dan buku "Metodologi Penelitian Filsafat" oleh Drs. Sudarto (Rajawali Pers - Jakarta). Metode-metode yang dimak­sud adalah interprestasi, induksi dan deduksi, koherensi intern, relistika, kesinambungan historis, idealisasi, komparasi, heuristika, analogikal, deskripsi.
metode yang dipergunakan dalam filsafat ada tiga macam, yaitu:
1.     Contemplative (perenungan); memikirkan sesuatu (se­gala sesuatu) tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan objeknya. Objek perenungan dapat berupa apa saja, misalnya makna hidup. Merenung adalah suatu cara yang sesuai dengan watak filsafat, yaitu memikirkan segala sesuatu sedalam-dalamnya.
2.     Spekulative; yang juga berarti perenungan atau mere­nung. Mengerti hakikat sesuatu berarti kita harus menye­lami sesuatu lebih mendalam, wajar melalui perenungan dengan pikiran yang tenang, kritis; pikiran mumi (reflec­tive thinking), cenderung menganalisis, menghubungkan antar masalah berulang-ulang sampai mantap.
3.      Deduktif; penyelidikan berdasarkan eksperimen yang dimulai dari objek yang umum untuk mendapat kesimpulan yang bersifat khusus. Berpikir dengan metode deduktif ini dimulai dari realita yang bersifat umum guna mendapatkan kesimpulan-kesimpulan tertentu yang khusus.
Contoh:
-          Semua manusia mengalami kematian (umum)
-          Ali manusia
-          Ali mengalami kematian (karena dia manusia) kesimpulannya.





BAB III
SISTEMATIKA FILSAFAT

                          Salah satu bukti bahwa seseorang berfilsafat adalah ia berpikir secara sistematis. Dengan demikian, pemikirannya itu akan mudah dipahami. Jikalau suatu ilmu tidak disusun secara siste­matis, sangat sulit untuk mengetahui dari mana awalnya atau sampai di mana akhirnya. Dengan demikian hasilnya akan rancu dan mengambang.
Agar filsafat mudah dipahami, ia harus disusun secara siste­matis. Salah satu usahanya adalah dengan membagi-bagi filsafat menurut persoalan-persoalan pokok yang dihadapi. Misalnya: filsafat manusia, filsafat hukum, dan filsafat politik. Dari situlah lahir pembagian sistematika dalam ilmu filsafat.
              Sebelum masa Aristoteles, pembagian sistematika filsafat be­lumlah begitu jelas. Pengertian umum pada waktu itu adalah bah­wa ilmu filsafat sudah mencakup seluruh pengetahuan manusia. Pemisahan baru terjadi sesudah berkembangnya ilmu pengeta­huan itu. Filsafat tidak sanggup lagi menjawab segala persoalan yang dihadapi oleh manusia. Bukan berarti filsafat mengalami kemunduran, tetapi ketika menghadapi persoalan secara khusus, filsafat tidak sanggup memberi jawaban yang memuaskan secara terperinci. Misalnya, ketika orang ingin mempelajari tentang makhluk hidup; filsafat hanya mampu memberi jawaban secart garis besarnya saja. Untuk mendapat keterangan dan penjelasan yang lebih memuaskan, kita harus mempelajari "biologi".
              Dalam keadaan demikianlah (menghadapi kesulitan untuk menjawab berbagai persoalan), lahirlah apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan khusus. Ilmu pengetahuan yang khusus itu meninggalkan induknya, yaitu filsafat. Walaupun filsafat diting­galkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan khusus, tidak berarti filsafat punah sama sekali. Filsafat tetap hidup (survival) dengan eksis­tensi baru, corak baru, yaitu sebagai "ilmu sempurna" atau "ilmu istimewa" dengan misinya untuk mengusahakan pemecahan se­gala masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu-ilmu penge­tahuan khusus itu. 
              Filsuf yang pertama kali dianggap sebagai perumus pem­bagian ilmu filsafat ialah ARISTOTELES. Dialah orang yang pertama kali merumuskan ilmu logika sebagai ilmu tersendiri dan merupakan suatu cabang dari filsafat.
Sebenarnya PLATO (guru Aristoteles) telah mulai membeda­kan lapangan-lapangan filsafat ke dalam tiga macam cabang, yaitu:
1.      Dialektika; yang mengandung persoalan ide-ide atau pengertian-pengertian umum.
2.      Fisika; yang mengandung persoalan dunia materi.
3.      Etika; yang mengandung persoalan baik dan buruk.


            Tetapi Aristoteleslah yang merumuskan pembagian filsafat secara lebih konkret dan sistematis. Pembagiannya itu telah di­akui dalam waktu yang lama sekali. Bahkan pengaruhnya sangat nyata dalam pembagian filsafat sampai saat ini. Ada pun pembagian filsafat menurut Aristoteles adalah sebagai berikut:
1.      Logika; ilmu ini dianggapnya sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.
2.      Filsafat teoritis; yang mencakup:
a.   Ilmu Fisika
b.   Ilmu Matematika
c.    Ilmu Metafisika
3.   Filsafat Praktis; yang mencakup:
a.   Ilmu Etika; yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perseorangan.
b.   Ilmu Ekonomi; yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam keluarga.
c.   Ilmu Politik; yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam negara.
Menurut LOUIS O. KATTSOFF[3] filsafat dibagi atas:
1.    Logika; mempertanyakan tentang: apakah hukum-hukum penyimpulan yang lurus itu?
2.    Metodologi; mempertanyakan tentang: apakah teknik-teknik penyelidikan itu?
3.    Metafisika; membicarakan tentang segala sesuatu yang ada.
4.    Ontologi; mempertanyakan tentang: apakah kenyataan itu?
5.    Kosmologi; mempertanyakan tentang: bagaimanakah ke­adaannya sehingga kenyataan itu dapat teratur?
6.    Epistemologi; mempertanyakan tentang: apakah kebe­naran itu?
7.    Biologi kefilsafatan; mempertanyakan tentang: apakah hidup itu?
8.    Psikologi kefilsafatan; mempertanyakan tentang: apakah jiwa itu?
9.    Antropologi kefilsafatan; mempertanyakan tentang: apa­kah manusia itu? 
10.Sosiologi kefilsafatan; mempertanyakan tentang: apakah masyarakat dan negara itu?  
11.Etika; mempertanyakan tentang: apakah yang baik itu?
12.Estetika; mempertanyakan tentang: apakah yang indah itu?
13.Filsafat agama; mempertanyakan tentang: apakah yang keagamaan itu?


 
BAB IV
FILSAFAT, ILMU PENGETAHUAN DAN TEOLOGI

Dalam bagian ini kita akan mempelajari hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan teologi, apa yang menjadi perbedaannya, dan apa hubungan filsafat dengan Alkitab? Setelah mempelajari hal tersebut, diharapkan kita mengetahui apa yang menjadi pertanggungjawaban moral atasnya? Dan de¬ngan mengetahui pertanggungjawaban moral di atas, kita akan sadar dan tahu posisinya ada di mana. Perhatikan makna yang terkandung dalam falsafah ini:
Ada orang yang tahu bahwa dia tahu.
Ada orang yang tahu bahwa dia tidak tahu.
Ada orang yang tidak tahu bahwa dia tahu.
Ada orang yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu.
Di mana posisi kita sekarang sesudah mempelajari filsafat? Orang mempelajari filsafat tentu untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Kepuasan manusia akan tampak bila ia sudah tahu. Tahu yang memuaskan hati manusia adalah tahu yang benar. Tahu yang tidak benar disebut "keliru". Keliru sering kali lebih jelek daripada tidak tahu. I.R. Poedjawijatna[4] mengatakan: "tahu yang keliru, kalau dijadikan dasar tindakan, kerap kali tindakan itu pun keliru juga, malapetaka mungkin timbur.


Hubungan Antara Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan dan Teologi
Filsafat adalah induk segala ilmu. Oleh karena itu, filsafat memandang dunia dan alam semesta sebagai keseluruhan dalam usaha menerangkannya; menafsirkannya, dan memahaminya secara keseluruhan. Hasil penemuan dari filsafat ini tidak mem­peroleh jawaban yang memuaskan karena merangkum dari segala keberadaan, yang menjadi objek penelitiannya.
Oleh karena itu, ilmu pengetahuanlah yang bertugas memberi jawaban secara khusus untuk bidang-bidang tertentu. Misalnya; sosiologi untuk mempelajari hubungan manusia dengan lingkung­annya. Sedangkan untuk menguji dan memberi nilai atas kedua bidang tersebut (FILSAFAT dan ILMU PENGETAHUAN) me­rupakan tanggung jawab TEOLOGI. Sebab tolak ukur teologi adalah Alkitab. Dan Alkitab adalah "firman Allah"; yang meru­pakan kebenaran hakiki dan diterima dengan iman.
Bila hasil penemuan filsafat dan ilmu pengetahuan bertolak belakang dengan nilai kebenaran (= yaitu Alkitab) hasil pene­muan itu harus ditolak. Misalnya: teori evolusi yang dicetuskan oleh Charles Darwin; yang mengatakan bahwa manusia berasal dari keturunan binatang tingkat rendah (monyet). Ini sudah jelas salah. Ini bukan kebenaran. Ini sama dengan pelecehan ciptaan Tuhan yang mulia, yaitu manusia. Dikatakan manusia diciptakan menurut Gambar dan Rupa Allah (Kejadian 1:26-27). Kalau ma­nusia adalah keturunan monyet, pada hakikatnya pendapat terse­but menghina Allah sendiri. Hal itu juga menjadi suatu bencana bagi manusia. Harun Yahya dalam bukunya "BENCANA KEMANUSIAAN AKIBAT DARWINISME"; mengemukakan bahaya dari paham/aliran Darwinisme ini, yaitu terjadinya rasis­me dan kolonialisme, menjadi sumber kekejaman komunis, munculnya kapitalisme dan perjuangan untuk mempertahankan hidup di bidang ekonomi. Itulah kehancuran moral akibat Dar-. winisme.
Harun Yahya menyimpulkan bahwa, "Sepanjang seja­rah telah terjadi peperangan, penindasan, pembunuhan dan pertikaian. Namun, mengapa jumlah dan cakupan dari semua bencana ini begitu besar di abad lalu adalah karena pembenaran ilmiah keliru yang diberikan Darwinisme terhadap pembunuhan, penindasan dan pertikaian ini. Karena pernyataan ideologi ini, para pembunuh, diktator, dan ideolog bengis mampu menjelaskan bahwa kebijakan yang mereka terapkan adalah benar dengan mengatakan 'hukum alam juga berlaku pada masyarakat manu­sia'.". Ini merupakan salah satu contoh bencana kemanusiaan akibat teori Darwin.


Admin : Renal




[1]Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Tintamas, 1986), 6.
[2]Paul Stathern, 90 Menit Bersama Socrates (Jakarta: Erlangga, tt), 3.
[3]Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), 71-84.
[4]I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 10.

Kamis, 28 Maret 2013

Ringkasan Tentang Aristoteles


Admin Renal
Aristoteles (384-322 seb. M)
            Aristoteles kahir di desa Stagira, negeri Thrakia, yaitu bagian utama Yunani modern sekarang. Ayahnya adalah seorang dokter dan pengalaman Aristoteles dalam rumah ayahnya rupanya sangat mempengaruhi caranya meninjau dunia sekitarnya. Di kemudian hari kegemarannya ialah menggambarkan sifat-sifat pelbagai jenis makhluk hidup dan benda dari dunia alam. Pada tahun 367 seb. M., ia pindah ke Atena dan memasuki Akademi Plato. Di sana ia belajar dan bekerja selama 20 tahun, yaitu sampai Plato wafat.
            Empat tahun kemudian, yaitu pada tahun 343, Aristoteles dipanggil menjadi guru pribadi putra Filipus, raja Makedonia. Pada waktu itu, putra yang bernama Iskandar baru tiga belas tahun umurnya. Aristoteles mendidik putra Filipus itu selama tiga tahun, yaitu sampai ia dipanggil ayahnya melaksanakan pelbagai tugas kemiliteran. Meskipun tidak ada dokumen yang menggambarkan sifat pendidikan yang diterima Iskandar itu, namun Aristoteles rupanya telah menanamkan dalam diri anak didiknya kehausan akan pengetahuan dan cara meneliti apa saja yang ditemuinya dengan seksama. Di kemudian hari Iskandar sebagai raja dan jenderal, menyebarkan kebudayaan Yunani ke semua daerah yang berhasil ditaklukkan tentaranya. Iskandar mendirikan sebuah perpustakaan dan museum di kota Iskandaria di Mesir, dua lembaga yang tidak dikenal dunia Yunani sebelumnya.
            Pada tahun 334, Aristoteles kembali lagi ke kota Atena dan mendirikan sekolahnya dalam suatu gedung Lyceum, suatu ruang olahraga yang merupakan bagian dari kuil Appolos. Kemudian sebagaimana nama sekolah Plato, yaitu Akademi, terus hidup sebagai istilah untuk banyak macam perguruan tinggi, demikianlah pula nama sekolah Aristoteles itu diambil alih sebagai nama untuk tempat-tempat di mana orang membahas topik dan tema yang penting. Dalam taman Lyceum itu Aristoteles condong berjalan hilir-mudik sambil berbicara dengan para murid tentang berbagai ilmu atau masalah tertentu. Berdasarkan kebiasaan Aristoteles ini, maka gaya mengajarnya membuat sekolah itu dikenal sebagai sekolah “peripatetis”, suatu istilah yang diambil dari kata kerja Yunani peripatein, yang artinya berjalan-jalan. Di sana ia mengajarkan logika, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu bintang, ilmu jiwa dan etika. Ruang lingkup yang luas ini menunjukkan kepandaiannya. Dalam Abad Pertengahan di Eropa Barat kurikulumnya hidup kembali dalam bentuk yang dikenal sebagai Ketujuh Pokok Seni Liberal (Septem Ars Liberales).
            Pengaruh Aristoteles atas dunia cendekiawan amat besar, sungguhpun pelbagai seluk-beluk tertentu dari ilmunya tidak sesuai lagi dnegan hasil penyelidikan modern, namun banyak istilah ilmiah yang dipakai Aristoteles masih dipakai dalam dunia ilmu pengetahuan dewasa ini. Tulisan-tulisannya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan kemudian ke dalam bahasa-bahasa Eropa Barat. Di sana, khususnya pada Universitas Paris, gagasannya diambil-alih oleh Prof. Thomas Aquino yang mengolahnya ke dalam bentuk baru. Dengan sistem pengajarannya dia berusaha menyesuaikan pandangan Aristoteles dengan iman Kristen. Sistem intelektual itu masih berlaku dalam pemikiran teologi Gereja Katolik.
            Pandangan Aristoteles terhadap pendidikan dapat disimpulkan dari isi dua kaya utamanya, yaitu Etika Nikomakia dan Politik. Bagi dia, pendidikan termasuk kegiatan insani yang mempunyai maksud utama, yaitu menolong orang mencapai kebahagiaan (eudaimonia). Aristoteles menjernihkan arti kebahagiaan itu selaku penggunaan semua kemungkinan dalam diri seseorang yang dapat diserasikan dengan kebajikan. Tetapi kebajikan itu bukanlah harta milik yang disimpan dalam “bank”, melainkan suatu mutu yang perlu diamalkan terus-menerus sepanjang hidup.
            Kalau kita menerima bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup dan karena itu tujuan pendidikan juga, maka bagaimanakah tujuan tersebut dapat dicapai menurut pemikiran Aristoteles? Pertama-tama, sebagai dasar pendidikannya, ia menitikberatkan pentingnya pancaindera manusia. Sama seperti halnya dengan ribuan orang lainnya, maka ia juga mengamati kecondongan anak-anak kecil untuk menyentuh benda-benda, mencium bunga, mengamati dunia sekitarnya, mendengar suara anggota-anggota keluarga, meresapi maknanya dan seterusnya. Secara otomatis anak-anak melibatkan dirinya dalam kegiatan demikian. Oleh karena itu guru hendaknya mengembangkan tugas belajar yang sesuai dengan  minat pembawaan itu. Sejak kecil si anak berangsur-angsur belajar membedakan antara pelbagai pengalaman, sampai ia mampu menyesuaikan kelakukannya dengan akbiat kegiatan tertentu. Apabila ia menyentuh kompor panas, tangannya segera ditarik kembali. Kemudian kompor itu akan menjadi tanda dari kesakitan tadi. Singkatnya, ia belajar dari pengalamannya. Berdasarkan pengamatan itu Aristoteles menarik kesimpulan, bahwa pendidikan melalui kebiasaan harus mendahului pendidikan melalui akal. Dengan kata lain, baik buruknya sesuatu orang dipelajari melalui apa yang dialaminya. Sehubungan dengan ini Aristoteles menulis:
Kita tidak memperoleh kesanggupan melihat dengan cara melihat terus-menerus dan kita juga tidak mendapat kesanggupan mendengar dengan cara mendengar terus-menerus, melainkan justru sebaliknya. Oleh karena kita mempunyai kemampuan melihat dan mendengar, kita mulai memanfaatkannya. Kita tidak memperoleh pancaindera tersebut dengan jalan mempergunakannya. Lain sekali halnya dengan kebajikan. Kita memperoleh kebajikan sebagai akibat bertindak secara bajik... Kita menjadi orang-orang yang adil dengan cara berindak adil...menjadi berani dengan cara berbuat berani... Oleh karena itu, apakah kita terlatih sejak kecil dengan kebiasaan ini atau itu merupakan sesuatu yang amat penting.
            Jadi, para pelajar hendaknya dituntun dan dianjurkan untuk bergaul dengan anak-anak, muda-mudi dan orang dewasa yang berbudi tinggi. Subyek pergaulan itu bukan anggota keluarga atau teman-teman saja, melainkan termasuk juga tokoh-tokoh yang muncul dalam drama, cerita, kitab suci, dan yang aktif dalam masyarakat sebagai rohaniawan, pemimpin politik, dramawan dan seterusnya. Oleh karena itu, tugas seirang guru ialah untuk menolong murid-muridnya meningkatkan diri menjadi sama dengan orang-orang yang berbudi tinggi.
            Jika kebiasaan berbudi itu telah terbentuk atau lebih tepat apabila dikatakan “sedang terbentuk dalam diri mereka, maka para pendidik pun wajib memperhatikan perkembangan nalar para pelajar. aristoteles sendiri mendorong murid-muridnya untuk meneliti dunia alam sekitarnya, menggolongkan keterangan yang diperoleh dari usaha itu dan kemudian menarik kesimpulan berdasarkan hasil penelitian itu, atau dalam kata-kata Aristoteles sendiri:            Jadi, para pelajar hendaknya dituntun dan dianjurkan untuk bergaul dengan anak-anak, muda-mudi dan orang dewasa yang berbudi tinggi. Subyek pergaulan itu bukan anggota keluarga atau teman-teman saja, melainkan termasuk juga tokoh-tokoh yang muncul dalam drama, cerita, kitab suci, dan yang aktif dalam masyarakat sebagai rohaniawan, pemimpin politik, dramawan dan seterusnya. Oleh karena itu, tugas seirang guru ialah untuk menolong murid-muridnya meningkatkan diri menjadi sama dengan orang-orang yang berbudi tinggi.
            Jika kebiasaan berbudi itu telah terbentuk atau lebih tepat apabila dikatakan “sedang terbentuk dalam diri mereka, maka para pendidik pun wajib memperhatikan perkembangan nalar para pelajar. aristoteles sendiri mendorong murid-muridnya untuk meneliti dunia alam sekitarnya, menggolongkan keterangan yang diperoleh dari usaha itu dan kemudian menarik kesimpulan berdasarkan hasil penelitian itu, atau dalam kata-kata Aristoteles sendiri:
Oleh karena itu harus kita periksa kesimpulan yang dikemukakan murid dengan mengujinya menurut data-data tertentu. Apabila kesimpulan tersebut sesuai dengan data itu, maka ia dapat diterima. Kalau tidak, maka ia harus kita anggap hanya suatu teori.
            Aristoteles ingin melibatkan para muridnya dalam kegiatan mengambil keputusan etis, dalam arti bahwa mereka harus belajar bagaimana mempertimbangkan pelbagai kemungkinan etis dan akhirnya memilih keputusan yang paling sesuai dengan patokan “kebahagiaan” . persoalannya ialah, bagaimana caranya orang dapat menemukan ukuran yang dapat dipercaya? Menurut Aristoteles, kuncinya ialah “jalan tengah kencana” (golden mean), sebab dalam pengalaman sehari-hari jarang sekali ditemukan ukuran mutlak tentang perilaku yang tepat dalam semua keadaan. Pendekatan yang lebih serasi ialah memilih jenis perilaku di tengah-tengah dua kemungkinan yang saling berbeda, yang mirip dua kutub perilaku yang bertentangan, misalnya jalan tengah antara kepengecutan dan nekad secara membabi buta ialah keberanian; antara kemalasan dan nafsu ialah ambisi; antara kerendahan hati dan kesombongan ialah kesederhanaan. Apabila para murid mendekati keputusan tersebut secara obyektif, maka mereka condong menjauhkan diri mereka dari segala kemungkinan yang bersifat keterlaluan. Mereka sedang menyerasikan diri juga dengan irama alam dunia; mereka sedang mengalami kebajikan moral dan baru boleh mendapat gelar “terpelajar”.
            Meskipun Aristoteles mempertahankan siasat memilih “jalan tengah kencana” sebagai pedoman mengambil keputusan etis, ia akui juga bahwa asas itu tidak berlaku untuk semua macam perilaku. Sebabnya ialah, karena ada perilaku yang selalu salah, misalnya mencuri, membunuh, berzinah. Semua perilaku tersebut dianggap salah, dan bukan kekurangan atau keterlaluan di dalamnya yang membuatnya menjadi salah. Siapa saja yang membunuh, mencuri, berzinah takkan kunjung dianggap berbuat baik karena tidak ada keadaan dalam mana perilaku tersebut merupakan suatu kebajikan. Apabilan pendidikannya berhasil sesuai dengan yang dimaksud, maka si pelajar sudah mencapai kesempurnaan insani yang terbukan bagi manusia. Perilakunya menampilkan suatu pribadi yang berbudi tinggi yang bijaksana dan yang mampu meilhat hubungan-hubungan yang sejati. Singkatnya, ia boleh dianggap seorang yang terpelajar, seorang yang berbahagia.

Kamis, 09 Agustus 2012

PESERTA DIDIK DALAM PAK

Oleh: Ronald Y. Sinlae, S.Th

BAB 1
PENDAHULUAN

Pendidikan Agama Kristen berpangkal kepada persekutuan umat Tuhan di dalam Perjanjian Lama.[1] Pendidikan Kristen sendiri oleh Prof. Robert W. Pazmino diartikan sebagai “usaha bersengaja dan sistematis, ditopang oleh upaya rohani dan manusiawi untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, keterampilan-keterampilan, dan tingkah laku yang bersesuaian atau konsisten dengan iman Kristen, dalam rangka mengupayakan perubahan, pembaharuan dan reformasi pribadi-pribadi, kelompok bahkan struktur oleh kuasa Roh Kudus, sehingga peserta didik hidup sesuai dengan kehendak Allah”.
Pendidikan agama Kristen tidak hanya terbatas di sekolah formal saja, tetapi juga meliputi pendidikan di keluarga maupun di gereja.[2] Berbicara mengenai usaha pendidikan, maka mau tidak mau selalu ada pendidik dan peserta didik, yang merupakan unsur utama yang membentuk pendidikan. Dalam hal ini, keduanya merupakan kopartner di dalam Pendidikan Agama Kristen.[3] Kopartner ini dapat diartikan secara bebas sebagai rekan sekerja. Dengan mempertanyakan siapakah kopartner dalam PAK, sesungguhnya yang hendak dibahas adalah mengenai persepsi kita tentang pendidik, maupun persepsi kita tentang peserta didik. Dengan kata lain, kita hendak membahas identitas kita sebagai pendidik dan peserta didik. Berbicara mengenai kopartner, yaitu berbicara tentang rekan , atau hubungan kerjasama yang baik antra pihak yang satu dengan yang lain. Dr. Yusak Hadisiswantoro dalam bukunya tentang “Partner Rohani”(Spiritual Partnership) menulis bahwa Partner Rohani adalah suatu program yang  dibuat dengan tujuan agar setiap orang percaya atau anggota gereja memiliki rekan atau sahabat rohani dalam gereja Tuhan. Dengan demikian diharapkan semua anggota  gereja yang ada bisa saling memperhatikan.[4]
John Maxwell mengatakan dalam bukunya ”Partners in Prayer”, bahwa ketika sekelompok orang dengan sunggoh-sungguh dalam jaringan doa yang dibuatnya, maka hasilnya adalah peningkatan pendapatan gereja dan jumlah jemaat.
Didalam dunia pendidikan selalu ada pendidik dan yang didik (peserta didik). Dengan mempertanyakan siapakah kopartner dalam PAK, sesungguhnya yang hendak dibahas adalah masalah persepsi kita tentang diri sendiri, sebagai pendidik maupun tentang peserta didik. Tujuannya memberikan kesadaran akan asumsi-asumsi antropologis yang mendasari kegiatan pendidikan kita dalam PAK.


BAB 2
PESERTA DIDIK DALAM PAK

Groome dalam bukunya Christian Religious Education mengatakan bahwa peserta didik adalah saudara sepengembaraan bersama dengan pendidik dalam kurun waktu tertentu. Mereka memiliki pandangan hidup dan tujuan sendiri yang unik. Konsep yang diusulkan Groome mengenai peserta didik dapat diringkas dalam dua hal, yaitu:

1.      Peserta Didik adalah Subyek dan Bukan Obyek
Menurut Groome, seringkali banyak pendidik termasuk pendidik dalam PAK, menganggap peserta didik sebagai obyek dari pendidikan. Secara teologis, kita harus mengatakan bahwa sesungguhnya mereka mempunyai hak yang melekat pada dirinya untuk diperlakukan dengan penghargaan oleh karena mereka memiliki individualitasnya sendiri, dan lebih dari itu mereka mempunyai kapasitas atau kemampuan untuk merespons panggilannya sendiri.
Pendapat Groome tersebut di atas cukup masuk akal dan dapat diterima, atau lebih tepatnya dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan sekaligus kritisi untuk para pendidik mengenai konsep tentang peserta didik yang selama ini dianut. Peserta didik harus diperlakukan sebagai subyek terutama karena kita percaya sesuai dengan antropologi Alkitab bahwa semua orang diciptakan menurut gambar Allah.[5] Peserta didik kita dan kita sebagai pendidik sedang berada dalam perjalanan bersama, yang mempunyai panggilan dan juga hak untuk bertumbuh dalam kesegambaran dengan Pencipta kita.
Perjalanan setiap orang menuju kepada Allah adalah suatu yang suci, dan setiap orang dengan caranya sendiri merupakan suatu yang unik. Oleh sebab itu, peserta didik bukanlah obyek yang dapat diperlakukan atau dibentuk menurut kemauan kita, melainkan merupakan subyek dengan siapa kita masuk dalam suatu hubungan kesalingan dan kesederajatan. Sebagai subyek, maka peserta didik kita mempunyai hak untuk mengatakan kata-kata mereka sendiri dan untuk memberi nama kepada realitas mereka sendiri. Sebagai pendidik, kita juga memiliki hak untuk mengatakan kata-kata kita sendiri dan merupakan suatu kewajiban untuk mendengarkan mereka.[6]
Kita selalu diingatkan akan fakta bahwa manusia yang seutuhnyalah yang dapat berpikir, berpersepsi, berkeinginan dan memiliki kehendak. Dengan demikian pendidikan anak atau seseorang seharusnya dianggap sebagai satu kesatuan proses. Sangat bodoh jika kita berpikir bahwa kita dapat mengajarkan pengetahuan kita tanpa mengarahkan minat, mengisi kepala dengan pengetahuan tanpa mempengaruhi emosi, inklinasi, keinginan, serta aspirasi dari hatinya. Melatih kepala dan hati harus berjalan bersama-sama, dan pada keduanya ini terdapat fakta mendasar bahwa anak (peserta didik) adalah pembawa gambar Allah harus menjadi faktor penentu.[7] Ketika seorang pendidik memperlakukan peserta didiknya sebagai obyek, maka sebenarnya yang ia lakukan adalah berusaha menjadikan peserta didik tersebut sebagai sasaran “pemindahan” materi pengetahuan dan menciptakan miniatur dirinya secara intelektual, namun ia lupa bahwa seorang peserta didik memiliki aspek-aspek lain, yaitu kemampuan berpikir, dan hati. Peserta didik mempunyai kehendaknya sendiri dan secara alami dibekali kemampuan untuk mengambil keputusan-keputusan untuk dirinya sendiri. Mungkin saja kita bisa membentuk intelektualnya dengan memberi materi-materi tertentu, tetapi kita tidak dapat membentuk hatinya dan kehendaknya sesuai keinginan kita secara semena-mena dan dengan begitu mudah, sebab mereka bukanlah benda mati atau ‘obyek’ semata-mata.
Di dalam hubungan kesederajatan ini, maka ada kesempatan bagi kita sebagai pendidik untuk membagi apa yang kita miliki (baik iman dan visi maupun pengharapan kita). Namun kita juga harus membantu mereka untuk mengetahui pengalaman iman dan visinya sendiri. Hal ini juga sesuai dengan teladan Yesus sendiri. Dapat dikatakan bahwa Yesus mendekati orang-orang berdosa sebagai subyek. Manusia sebagai subyek mempunyai kemerdekaan dan tanggung jawab pribadi. Dalam kaitan ini manusia tidak terhisap kepada masyarakatnya sehingga tanggung jawab pribadi hilang dan diemban oleh masyarakat. Manusia adalah individu yang berada dalam proses untuk menuju kedewasaan yang sempurna (Mat 5:48), dan proses dapat dilewati melalui interaksi di dalam hubungan di antara sesama manusia dalam kebudayaan masing-masing.[8] Jadi, persepsi pertama kita mengenai peserta didik adalah bahwa mereka merupakan subyek yang perlu diperlakukan dengan hormat, dan dengan siapa kita masuk dalam hubungan antar subyek.

2.      Peserta Didik (seperti juga pendidik) Dipanggil dan Mampu Untuk Menjadi Pencipta-pencipta Sejarah
Manusia, sebagai makhluk ciptaan yang sempurna, memiliki potensi untuk mengambil keputusan dan memberi andil atau warna dalam kehidupan. Manusia tidak seharusnya menjadi pion yang terpenjara dalam roda nasib yang tidak bisa dihindari. Manusia tidak hanya dibentuk oleh sejarah, tetapi juga membentuk sejarah. Artinya, kita dapat memberi andil dalam menentukan apa yang akan terjadi di masa depan, dengan membuat pilihan-pilihan dan melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada perubahan yang baik. Untuk hidup layak, di masa lalu seorang manusia modern harus terus-menerus mengambil berbagai pilihan di dalam hidup sehari-harinya. Ada pilihan-pilihan yang berdampak jangka pendek, dan ada pilihan-pilihan yang berdampak jangka panjang.[9]
 Dalam konteks pembentukan iman Kristen, hal ini berarti bahwa peserta didik dapat mencapai kesadaran yang menyebabkan mereka mampu menghadirkan Kerajaan Allah serta mempersiapkan penyempurnaannya. Hal ini merupakan tugas bersama baik pendidik maupun peserta didik. Apa yang dikatakan disini sesungguhnya mempunyai implikasi yang jauh terhadap bagaimana kita melakukan tugas PAK, yakni untuk melihat peserta didik kita sebagai  umat yang terpanggil untuk terlibat dalam dunia ini demi menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah dan membentuk masa kini ke arah penyempurnaan Kerajaan Allah.
Memperlakukan peserta didik sebagai subyek-subyek dan pencipta sejarah, menghendaki suatu pergeseran yang pokok dalam kesadaran kebanyakan para pendidik PAK. Kita perlu melihat secara kritis biografi pendidikan serta model yang membentuk kita, sebab pada umumnya hal tersebut sangat mempengaruhi cara kita mendidik. Sudah tentu perlu diakui bahwa tidak mudah untuk memenuhi semua ideal kita, karena sementara kita sendiri menunjuk ke depan bagi para peserta didik kita, maka sebenarnya kita juga menunjuk ke depan bagi diri sendiri. Artinya, kita masih terus bertumbuh dan berkembang menuju fungsi yang ideal dari PAK itu sendiri. Masalah lain yang ikut mempersulit kita untuk memperlakukan peserta didik sebagai subyek ialah struktur sosial dimana pendidikan itu terjadi.[10]
PAK sesungguhnya hadir bagi dan oleh seluruh jemaat, dan bertujuan untuk membimbing jemaat menuju kepada kedewasaan iman Kristen. Biasanya PAK mulai diajarkan pada anak-anak karena hal tersebut justru dapat mengembangkan hubungan intersubyek dengan anak-anak, yang bila kita lihat di dalam masyarakat hal tersebut justru terjadi sebaliknya yaitu bahwa anak-anak diperlakukan sebagai obyek. Tulisan-tulisan tentang sejarah masa kanak-kanak menunjukkan bahwa banyak dari penyakit sosial harusnya ditemukan akarnya dalam penindasan, dimana anak selama ini telah diperlakukan dengan kurang baik. Kita tidak boleh melupakan bahwa pada hakekatnya, anak-anak pun merupakan pribadi-pribadi. Singkatnya, persepsi kita tentang siapakah peserta didik kita akan mempengaruhi sikap dan perlakuan kita terhadap mereka. Persepsi didasarkan pada asumsi teologis yang menghargai peserta didik sebagai subyek, yang mempunyai panggilan serta mampu menjadi pencipta sejarah. Tugas kita untuk menolong mereka merealisasikan potensinya tersebut dalam realitas sosial.




BAB 3
PENDIDIK DALAM PAK


Harus diakui bahwa banyak dari pendidik telah kehilangan identitas tentang siapa sesungguhnya dirinya dan apa yang ia harapkan dari dirinya dalam konteks persekutuan iman. Sekalipun banyak pemaparan yang mengetengahkan mengenai tugas-tugas pendidik, namun itu belum memberikan gambaran yang utuh dan jelas mengenai siapa sebenarnya pendidik itu, khususnya di dalam kerangka PAK.
Gereja mula-mula mengakui pendidik (didaskaloi) sebagai pelayan-pelayan di antara berbagai pelayanan (band. 1 Kor 12:28; Ef 4:11). Kita pun seharusnya kembali melihat peranan pendidik sebagai suatu pelayanan Kristen yang valid dan otentik yang bekerja sama dengan pelayanan-pelayanan yang lain demi kebaikan ‘seluruh tubuh’. Pendidik dalam PAK bukan sekedar penolong pendeta, akan tetapi pada pihak lain hak mendidik bukanlah hak khusus dari pendidik (pengajar; guru) PAK saja, sebab pelayan-pelayan lain pun sesungguhnya mempunyai kewajiban untuk mendidik. Jadi semua orang Kristen memiliki tanggung jawab mendidik.[11] Tugas mendidik adalah menolong seorang manusia untuk memiliki pemahaman yang sehat mengenai hidup, gambar diri yang sehat, serta persepsi-persepsi yang akurat tentang lingkungannya sehingga mengenali pilihan-pilihan yang ada dan mampu mengambil pilihan yang tepat.[12] Berikut kita akan melihat siapa-siapa yang disebut atau bertanggung jawab sebagai pendidik, yaitu:
1.      Orangtua (keluarga)
Allah telah menunjukkan pada kita siapa yang dianggap sebagai pendidik yang bertanggung jawab dari seorang anak, ialah orangtua. Orang tua menjaga mereka sampai mereka bisa mandiri dan orangtua diarahkan oleh cinta kebapaannya untuk menyediakan kebutuhan fisik, mental, moral dan spiritual anak-anaknya. Orangtua menuntun, melindungi dan mendukung kepentingan mereka yang utama. Oleh karena itu wajar bila orangtua harus menjadi pendidik yang bertanggung jawab. Jika orangtua merasa terpaksa untuk harus meminta bantuan dari orang-orang lain, orang-orang ini harus merasa bahwa mereka berada di posisi sebagai pengganti orangtua (loco parentis).[13] Pendidikan agama dalam keluarga merupakan dasar bagi seluruh pendidikan lainnya dalam masyarakat. Oleh karena itu, sebaiknya pokok-pokok utama dari kepercayaan Kristen sebaiknya mulai dipelajari dan dikenal oleh manusia justru di dalam lingkungan keluarga Kristen.[14]

2.      Guru PAK (di sekolah-sekolah formal)
Peran guru dewasa ini telah mengalami pergeseran, dari yang dominan sebagai satu-satunya sumber informasi menjadi fasilitator, motivator, dinamisator dan inspirator.[15] Guru di sekolah-sekolah formal harus berjalan seiring dengan keluarga sebagai pendidik untuk membantu para peserta didik bertumbuh dan berkembang sesuai dengan kehendak Allah.
Para psikolog mengingatkan kita akan fakta bahwa pendidikan adalah suatu proses yang bersifat kesatuan. Dengan demikian, merupakan suatu kebodohan bila agen pendidikan yang paling penting pada saat ini harus mengabaikan elemen yang paling fundamental dalam pendidikan; dan juga bahwa pendidikan sekolah harus merupakan antitesis dari semangat yang ada di dalam keluarga Kristen, karena hal ini akan menghasilkan kehidupan yang terpecah.[16] Guru, di dalam hal ini memiliki tanggung jawab penting, di antaranya: (a) sebagai penafsir iman Kristen; (b) sebagai gembala bagi murid-muridnya; (c) menjadi pedoman dan pemimpin; (d) guru adalah seorang penginjil.
3.      Pendeta
Di dalam PAK, pendeta memiliki tugas: (a) sebagai penilik umum bagi segala cabang pendidikan agama itu; (b) membela dan mempropagandakan PAK; (c) mempelajari segala soal mengenai PAK; (d) bekerja sama dengan sinodenya mengenai pokok PAK. Seharusnya pendeta menjadi seorang guru yang cakap.[17] B. Sidjabat merangkumkan peran seorang pendeta dalam 2 hal yaitu: sebagai penyelenggara PAK dan sebagai guru/pengajar PAK.
Pendeta dapat mengajar melalui mimbar maupun mengajar orang per orang atau juga melalui wadah pelayanan.[18] Pendetalah yang memberitakan dan menerangkan iman Kristen kepada anggota jemaat. Dialah yang wajib memberikan teladan tentang sikap hidup dan kelakuan Kristen, sebagaimana Tuhan Yesus mengibaratkan hubungan itu dengan seorang gembala beserta domba-dombanya. Supaya pendeta sanggup mengerjakan tugasnya sebagai guru, maka perlu dilatih sebaik-baiknya, dan latihan tersebut diberikan di dalam sekolah-sekolah teologi.[19]
4.      Jemaat (Gereja)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pendidikan merupakan satu kesatuan, dimana setiap jemaat memiliki tanggung jawab untuk mendidik anggota yang lain (khususnya anak-anak dan remaja/pemuda). Hal ini perlu disadari, sehingga di dalam keseharian mereka, mereka ingat bahwa apapun yang mereka lakukan dan bicarakan menjadi suatu ‘bahan pelajaran’ bagi orang-orang di sekitar mereka.

Setiap pendidik haruslah memiliki persepsi yang benar mengenai peranannya sebagai pendidik. Beberapa hal menyangkut persepsi tentang peranan pendidik di antaranya yaitu:
1.      Sebagai wakil Kristus[20]
Setiap pelayanan di dalam gereja yang mula-mula mempunyai tugas mewakili Kristus, yang bangkit dengan pelayanan dalam bentuk apapun baik kepada persekutuan iman maupun kepada dunia (Ef 4:11). Pelayanan dari pendidik adalah untuk menjadi pelayan firman, dimana pelayanannya adalah secara sadar ditujukan kepada proses sehingga orang dapat menginkarnasikan firman Allah dalam eksistensinya setiap hari. Pelayanan para pendidik dalam PAK bukan terutama untuk memberitakan, melainkan terutama untuk membentuk dan mendidik umat agar mempraktekkan berita Injil itu. Namun, perlu diingat bahwa sebelumnya, firman itu harus diterapkan dalam hidup kita (sebagai pendidik) terlebih dahulu.
2.      Sebagai “sahabat”[21]
Hasil dari survey telah membuktikan bahwa 80% pendidikan yang diterima oleh seorang anak di dalam keluarga ikut membentuk karakter dan masa depan si anak. Bila anak tidak tumbuh dalam keluarga yang bersahabat, maka akibatnya mereka akan melihat dunia sebagai dunia yang tidak ramah dan perlu dilawan. Lingkungan pendidikan di sekolah dapat entah memperparah atau mengurangi dan mengatasi luka tersebut. Hal tadi tergantung pada bagaimana pendidik memainkan peran mereka.bila mereka berperan sebagai sahabat bagi peserta didiknya, maka terbuka peluang untuk para peserta didik memperoleh gambar diri yang sehat dan benar.
Sebagai sahabat, seorang pendidik dapat menolong peserta didiknya untuk meras diterima, dihargai, dan dianggap penting. Selanjutnya, hal ini akan memberikan pengaruh positif dalam pengembangan potensi peserta didik sesuai dengan anugerah Allah. Sebagai sahabat, pendidik juga dapat menolong peserta didik untuk mengenali pilihan-pilihan yang tersedia dalam keadaan paling sulit sekalipun. Akhirnya, sebagai sahabat pendidik dapat menolong mereka untuk mengambil salah satu pilihan sehingga mereka mencapai kemandirian.
Dengan demikian, sesungguhnya pendidik dalam PAK mampu untuk memilih kehidupan dan untuk menjalani kehidupan masa kini mereka secara manusiawi dan dengan sukacita. Namun pada saat yang sama, mereka juga mempunyai tugas untuk menolong orang lain menjalani kehidupannya seperti itu juga di dalam Yesus Kristus.




BAB 4
KESIMPULAN
           
            Secara teologis kita mengetahui bahwa peserta didik adalah mereka yang diajar dan mengajar, sebab mereka yang diajar membutuhkan bimbingan namun mereka bukanlah objek sebab mereka adalah subjek. Subjek adalah sesuatu yang memiliki kehendak dan kemauan dalam lingkup kopartner PAK. Subjek tidak hanya peserta namun juga pendidik karena adanya gambar Allah dalam setiap manusia.
Sebagai makhluk ciptaan yang sempurna, manusia memiliki potensi untuk mengambil keputusan dan memperdayakan kemampuan dalam kehidupan. Manusia tidak seharusnya menjadi objek yang terpenjara dalam roda nasib yang tidak bisa dihindari. Manusia tidak hanya dibentuk oleh sejarah, tetapi juga membentuk sejarah.



[1] Menurut E. G. Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) : PAK dimulai dengan terpanggilnya Abraham menjadi nenek moyang umat pilihan Allah, bahkan PAK berpokok kepada Allah sendiri, karena Allah yang menjadi Pendidik Agung bagi umat-Nya. Oleh sebab itu, untuk menemukan akar-akar dari PAK, kita harus menggali dalam Alkitab.
[2] B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta : Yayasan ANDI)
[3] Di dalam istilah lain disebutkan bahwa pendidik dan peserta didik merupakan pelaku pendidikan. B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta : Yayasan ANDI)
[4] Yusak Hadisiswantoro. “Partner Rohani”, Kiat membawa Jemaat dalam visi Tuhan. (Manorah Books. Surabaya) 7.
[5] Lebih lanjut Berkhof mengatakan bahwa manusia adalah pembawa gambar Allah yang Mahatinggi di setiap saat dan di segala tempat. Memisahkan gambar Allah dari manusia sama dengan merampas kemanusiaannya. Gambar Allah adalah hal yang paling mendasar dalam kemanusiaan secara umum, dan karenanya berlaku pada anak (peserta didik) secara khusus. Hal yang paling esensial pada seorang anak tidak dapat diabaikan dalam pendidikannya tanpa melakukan ketidakadilan kepada anak maupun Penciptanya dan tanpa menyelewengkan pendidikannya. Karena dosa, manusia kehilangan kualitas moral dan spiritual yang merupakan gambar Allah dalam pengertian yang lebih sempit, tetapi ini bukan berarti ia sudah tidak lagi menjadi pembawa gambar Allah. Manusia tetaplah makhluk rasional dan moral, yang dapat membedakan apa yang baik dan jahat, serta menunjukkan penghargaan yang jelas tentang apa yang benar, baik dan indah. Louis Berkhof & Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya: Momentum, 2004)47. Di dalam istilah lain, siswa juga disebut “subyek belajar”, yang sebagai individu memiliki kapasitas, bakat khusus, motivasi, kebiasaan, kematangan, dll. Odhita R. Hutabarat, Model-model Pembelajaran Aktif Pendidikan Agama Kristen SD, SMP, SMA Berbasis Kompetensi (Bandung: Bina Media Informasi, 2005)28-29.
[6] Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung : Jurnal Info Media, 2007   )154-155.
[7] Louis Berkhof & Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya: Momentum, 2004)48.
[8] Dosen-Dosen STT HKBP & FKIP Nommensen Pematangsiantar, Pendidikan Agama Kristen (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1994)62-63.
[9] Robby I. Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi Infomedia, 2006)62.
[10] Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal Info Media, 2007)156-158.
[11] Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal Info Media, 2007)160.
[12] Robby I. Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi Infomedia, 2006)86.
[13] [13] Louis Berkhof & Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya: Momentum, 2004)42-43.
[14] E. G. Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996)
[15] Odhita R. Hutabarat, Model-model Pembelajaran Aktif Pendidikan Agama Kristen SD, SMP, SMA Berbasis Kompetensi (Bandung: Bina Media Informasi, 2005)36.
[16] Louis Berkhof & Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya: Momentum, 2004)58-59.
[17] E. G. Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996)
[18] B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta: Yayasan ANDI)
[19] E. G. Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996)
[20] Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal Info Media, 2007)160.
[21] Robby I. Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi Infomedia, 2006)96.

Admint : Renal