BAB
I
PENDAHULUAN
Kabupaten Timor Tengah Selatan yang terletak di Pulau Timor, Nusa
Tenggara Timur banyak menyimpan ragam suku budaya. Di kabupaten yang
berpenduduk sekitar 400 ribu jiwa ini dahulu terdapat beberapa
kerajaan-kerajaan kecil seperti. Salah satu yang masih tersisa hingga kini
adalah Kerajaan Boti yang mendiami kawasan pegunungan di kecamatan Kie,
Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni
Metu. Wilayah kerajaan Boti terletak sekitar 40 km dari kota kabupaten Timor
Tengah Selatan, So’e, secara administratif kini menjadi desa Boti kecamatan
Kie. Karena letaknya yang sulit dicapai di tengah pegunungan, desa Boti seakan
tertutup dari peradaban modern dan perkembangan zaman.
Berjalannya perputaran roda waktu seakan tidak
menyentuh kerajaan Boti. Warga Boti hingga kini masih hidup dalam kesahajaan
mereka dan tetap memegang teguh pada tradisi leluhur mereka. Kehidupan warga
Boti hingga kini masih bergantung pada kerasnya alam daratan Pulau Timor.
Raja Boti, Usif Nama Benu, baru saja menggantikan ayahnya, Usif Nune
Benu yang wafat pada bulan Maret 2005. Usif adalah sebutan atau gelar yang
diberikan Suku Boti terhadap raja mereka yang juga merupakan pemimpin adat dan
spiritual warga Boti. Sejak meninggalnya Usif Nune Benu, orang Boti menjalani
masa berkabung, karena itu selama tiga tahun lamanya orang Boti tidak
mengadakan pesta-pesta adat. Menurut sang Raja baru, Usif Nama Benu,
biasanya mereka mengadakan kegiatan pesta adat seusai panen namun selama masa
berkabung ini ditiadakan untuk menghormati sang ayah Usif Nune Benu. Masyarakat
Suku Boti berkabung selama 3 tahun setelah wafatnya Raja Boti Usif Nune Benu
pada bulan Maret 2005.
Bab
II
Kebudayaan
dan upacara adat Suku Boti Timor Tengah Selatan NTT
Dari hasil wawancara dan
sumber-sumber yang dikumpulkan oleh penulis dan hasil yang diperoleh adalah
jumlah suku Boti semakin berkurang tetapi meski jumlah penduduk Boti Dalam makin berkurang, namun mereka
masih survive tetap melaksanakan upacara-upacara peninggalan nenek moyang
mereka. Setelah
beberapa tahap yakni upacara kelahiran atau lais mahont, masa persalinan
(mahonit), upacara pengenalan anak dengan dunia luar (Napoitan Liana).
Selanjutnya, masyarakat Boti juga masih menggelar upacara-upacara yang
merupakan kelanjutan dari upacara-upacara tersebut. Upacara yang dilakukan
lebih lanjut pada sang anak adalah:
Upacara
pemberian nama (nakanab) Masyarakat Boti biasanya memberi nama anak mereka saat
bayi usia empat bulan. Upacara pemberian nama ini disebut Na kanab li ana
dilakukan oleh tua adat. Di rumah orang tua bayi dibentangkan selembar tikar
yang di atasnya tersedia dua tempurung yang telah diisi air yang sudah diolah
dengan ramuan tradisional dan telah didoakan secara adat.
Di hadapan
undangan air ramuan dipercikan kepada bayi oleh tua adat yang diikuti dengan
pemberian nama kepada bayi.
Proses ini
dilakukan hingga bayi tersebut menangis. Saat bayi menangis, para undangan
secara bergiliran mengucapkan nama-nama yang ada hubungannya dengan silsilah
keturunan warga Boti Dalam. Nama-nama yang disebutkan antara lain Mollo, Nune,
Bota, Tosi, Heke, Boi Sau, Muke dan lain-lain. Bila bayi berhenti menangis saat
sebuah nama disebutkan, maka nama itulah yang akan diberikan kepada sang bayi.
Bagi masyarakat Boti, sang bayi menangis berarti meminta nama dan berhenti
menangis berarti menyetujui nama tersebut.
Upacara
mencukur rambut (Eu Nakfunu) Mencukur rambut pada anak-anak suku Boti dilakukan
sekali dalam seumur hidup. Bila telah melakukan upacara cukur, selanjutnya
rambut dibiarkan panjang d an dibiarkan
untuk dikonde seperti halnya perempuan. Upacara mencukur rambut dimaksudkan
untuk memberikan jalan untuk kehidupan selanjutnya. Ini diketahui pada
kebiasaan yang ada, di mana setiap anak yang dicukur rambutnya bertanda bahwa
sang ibu dari anak tersebut sudah mengandung lagi.
Upacara ini dilakukan oleh Atoin Amaf
(saudara laki-laki dari ibu) yang didahului dengan doa-doa adat oleh salah
seorang dukun atau tua adat. Ada pengecualian dalam upacara ini, yakni jika
seorang ibu yang sudah dekat saatnya untuk melahirkan maka tidak diperkenankan
melaksanakan upacara ini. Kepercayaan ini dipegang tegu dan apabila dilanggar
maka akan menghadirkan celaka, misalnya kematian terhadap ibu atau bayi yang
akan dilahirkan. Sebaiknya upacara mencukur rambut dilakukan sebelum ibu
mengandung anak berikutnya.
Upacara mencukur rambut bermaksud
membantu pertumbuhan dan kesuburan badan anak tersebut, karena diyakini rambut
yang dibawa dari kandungan ibu
mengandung unsur panas. Bila tidak dicukur, anak akan sakit-sakitan.
Perkawinan (Mafet Mamamonet). Dalam
masyarakat Boti bila ada pria dari Boti Luar (masyarakat Boti yang sudah
menganut agama Kristen) yang jatuh cinta pada gadis Boti Dalam dan kemudian
berencana mengambilnya menjadi istri, maka sang pria harus membuat pernyataan
secara adat untuk mengikuti tata cara adat Boti Dalam. Demikian pula sebaliknya, jika ada gadis Boti Dalam yang
menjalin asmara dengan pria Boti Luar, maka ia hanya diperkenankan menetap di
Kampung Boti
Dalam, bila laki-lakinya ikhlas
mengikuti adat istiadat yang berlaku di Boti Dalam dan tinggal di lingkungan
mereka. Syarat pengecualian ini diberlakukan semata-mata untuk tetap
mempertahankan kemurnian dan keberlanjutan adat kebiasaan yang semakin terkikis
oleh pengaruh budaya luar yang semakin menggeser kebudayaan yang diwariskan
oleh para leluhur suku Boti. Tata
cara perkawinan dalam adat istiadat suku Boti terdiri dari beberapa tahap yang
membutuhkan waktu hingga tahunan lamanya. Mulai dari proses perminangan, hidup
berkeluarga (rumah tangga) sampai dengan peresmian secara adat.
Peminangan (Toif Bife).
Awal dari sebuah proses perkawinan pada masyarakat Dawan,
yakni Toit Bi Fe (meminang gadis) dan
memberikan tanda ikatan. Bagi masyarakat Boti, peminangan dilakukan oleh
perantara yang merupakan utusan pihak laki-laki. Perantara ini disebut Nete
Lanam, yakni seorang tetua adat mendatangi orangtua gadis. Saat bertemu akan
terjadi tegur sapa, dan perantara ini membuka isi hati menurut tutur adat
dengan maksud untuk mencari tahu apakah anak gadis yang dimaksud sudah
mempunyai calon suami atau belum. Jika jawaban yang diberikan orangtua sang
gadis adalah si gadis sudah dilamar pria lain, maka pembicaraan akan
dihentikan. Tapi, bila jawaban belum ada pria lain yang melamar, maka perantara
atau Nete Lanan dari keluarga laki-laki akan menyampaikan maksud kedatangannya
yakni untuk melamar anak gadis. Seterusnya
pendekatan yang dilakukan oleh perantara Nete Lanan akan mendapat jawaban setuju
atau menerima lamaran dari keluarga laki-laki. Dari jawaban tersebut, juga akan
terjadi kesempatan untuk melanjutkan ke tahap berikutnya dengan menetapkan
waktu pelaksanaannya.
Ikatan Perkawinan (Maftus Neo Mafet
Mamonet) Tahapan ikatan
perkawinan merupakan kelanjutan dari kesepakatan yang sudah ditentukan pada
tahap peminangan. Ikatan adat ini disebut Ma Fut Nekaf yang merupakan tahap
penyerahan syarat dalam ikatan adat berupa sopi (minuman tradisional
beralkohol) satu botol (waktu lalu), kini telah diganti dengan gula air satu
botol dan satu kepingan uang logam (golden Belanda) bernilai 25 sen atau 50
sen. Dalam masyarakat Dawan, hal ini disebut dengan
istilah Tua Boit Mese, Noin Sol Mese. Arti harafiahnya adalah penyerahan
sebotol sopi dan sesen uang, sebagai ikatan awal dari sebuah proses perkawinan
Suku Bangsa Dawan.
Pada Masyarakat Boti Dalam setelah
penyerahan syarat ikatan adat berupa Tua Boit Mese, Noin Sol Mese, maka
orangtua gadis dengan rela hati menyerahkan anak gadis kepada keluarga laki-laki
dan tinggal serumah dengan laki-laki yang melamarnya sebagai suami istri.Namun
sebelum keluarga laki-laki membawa gadis tersebut untuk menjalani kehidupan
sebagai suami-istri, pasangan ini akan diberi petuah dan nasihat oleh orangtua
dari kedua pihak. Nasihat biasanya berisikan agar kedua orang itu bekerja sama
untuk menjalani kehidupan, saling setia dan tetap patuh dan hormat pada
nilai-nilai dan norma-norma yang diwariskan oleh leluhur mereka, selalu berbuat
baik pada sesama, tidak merusak hutan dan mejaga lingkungan alam sekitar serta
tidak membunuh segala jenis hewan yang ada di hutan, hemat dalam hidup dan
menabung untuk menghadapi kesulitan dalam hidup.
Hidup Berumah Tangga (Monit Mafet Ma
Monet) Menurut masyarakat Boti, bila
tahap ini belum dilaksanakan, maka belum sah secara penuh dalam satu proses
perkawinan. Tahap ini merupakan awal untuk menjalankan suatu tanggung jawab
secara mandiri dalam rangka mempersiapkan segala kebutuhan untuk pemenuhan
kebutuhan dalam rumah tangga sebagai suami dan istri. Pada tahap ini, seorang laki-laki akan menunjukkan karyanya
kepada istri dan orangtuanya sebagai jawaban atas amanat yang ia terima pada
saat pembicaraan dalam upacara Napoitana Li Ana, yakni kami datang membawa auni
ma suni (pedang dan tombak). Kedua jenis perangkat ini adalah peralatan hidup
bagi seorang laki-laki Suku Dawan untuk mengelola alam yang bermanfaat bagi
kelangsungan hidup beserta keluarga. Sementara sang
istri akan menunjukkan kepiawaian sebagai penyulam dan penenun yang mahir. Dari
dua perangkat alat kerja yakni Ike Ma Suti yaitu alat pemintal benang bagi
perempuan Dawan untuk memperindah tubuhnya dan suami serta anak-anak.
Bakti Kepada Orangtua (Maka Upa Ncu
Mnasi) Pada masyarakat Dawan umumnya,
tahap ini lebih populer dengan nama "pembayaran belis" (mas kawin)
atau istilah adatnya disebut pua mnasi-manumnasi atau oemaputu Ai Malala.
Bagi masyarakat Boti, tahap ini merupakan tanggung jawab
yang semata-mata dibebankan kepada pasangan suami istri yang tidak menjadi
beban dari orangtua pihak laki-laki maupun kerabat yang pada akhirnya akan
menjadi beban moril (hutang) bagi laki-laki yang akan kawin bahkan juga
melibatkan istrinya di kemudian hari.
Pada tahap ini keluarga meminta pasangan
suami istri dapat menunjukkan sikap berbakti yang telah diberikan selama tiga
tahun berumah tangga. Bakti kepada orangtua adalah hasil yang telah diperoleh
selama tiga tahun antara lain hasil dari kebun berupa padi dan jagung, hasil
dari menyulam dan menenun berupa sarung dan dan selimut, hewan peliharaan
berupa ayam, babi, kambing, sapi dan kerbau serta hasil lainnya.
Bahan-bahan tersebut dikumpulkan oleh pasangan suami
istri. Keduanya kemudian mengumpulkan semua sanak keluarga dari pihak suami dan
istri untuk mengadakan pesta syukuran adat sebagai tahap akhir dari suatu
proses perkawinan di kampung adat Boti. Berakhirnya
pesta bakti ini maka resmi sudah suatu perkawinan di kalangan masyarakat Boti
yang membutuhkan waktu tiga tahun.
Bab III
Kepercayaan
(Agama) Suku Boti Timor Tengah Selatan NTT
Suku Boti dikenal sangat memegang teguh keyakinan dan kepercayaan
mereka yang disebut Halaika. Mereka percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis
Pah dan Uis Neno. Uis Pah sebagai mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan
menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Sedangkan Uis
Neno sebagai papa atau bapak yang merupakan penguasa alam baka yang akan
menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di
dunia.
Menurut falsafah hidup orang Boti manusia akan selamat dan
sejahtera bila merawat dan melestarikan lingkungan hidup. Dalam kehidupan
keseharian mereka segala sesuatu mereka dapatkan dari alam seperti halnya
keperluan sandang yang dibuat dari benang kapas dan pewarna yang mereka
dapatkan dari tumbuhan di lingkungan sekitar mereka. Dalam kehidupan
sehari-hari ada pembagian tugas yang jelas antara kaum lelaki dan perempuan.
Para lelaki bertugas mengurusi permasalahan di luar rumah, seperti berkebun,
dan berburu. Sementara urusan rumah tangga, diserahkan kepada kaum perempuan.
Meskipun pembagian peran ini biasa dijumpai dalam sistem kekerabatan, ada satu
hal yang membuat warga Boti agak berbeda, mereka menganut monogami atau hanya
beristri satu. Seorang lelaki Boti yang sudah menikah, dilarang memotong
rambutnya. Sehingga bila rambut mereka semakin panjang, mereka akan
menggelungnya seperti konde.
Bila kepercayaan
dan aturan adat Boti dilanggar, maka akan dikenakan sanksi, tidak akan diakui
sebagai penganut kepercayaan Halaika, berarti harus keluar dari komunitas suku
Boti, sebagaimana yang terjadi pada putra sulung Laka Benu, kakak dari Raja
Usif Nama Benu. Laka Benu yang seharusnya menjadi putra mahkota, memeluk agama
Kristen sehingga ia harus meninggalkan komunitas Boti.
Menurut Molo
Benu, yang juga merupakan adik dari Usif Nama Benu,
untuk dapat terus menjaga dan menjalankan adat dan kepercayaan mereka,
anak-anak dalam satu keluarga dibagi dua, separuh dari anak-anak mereka
diperbolehkan bersekolah sementara yang lainnya tidak diperkenankan bersekolah
dengan tujuan agar dapat teguh memegang adat tradisi mereka. Aturan pendidikan
bagi anak-anak Boti bertujuan agar tercipta keseimbangan antara kehidupan masa
sekarang dengan kehidupan berdasarkan adat dan tradisi yang sudah diwariskan
oleh leluhur mereka.
Kepercayaan Uis Pah dan
Uis Neno merupakan kepercayaan atau agama asli suku Timor yang terungkap dalam
tradisi tutur kata atau secara lisan dan bukan tulisan yang terungkap dalam
berbagai ritual. Dalam tradisi agama suku banyak terungkap nilai-nilai tradisi budaya
lokal yang sangat mempertahankan kelestarian alam dan moral baik manusia.
Manusia sendiri diharapkan berhati baik karena akan dengan sendirinya bermoral
baik secara alamiah. Seperti pengharapan masyarakat Boti yang terdapat di
kabupaten Timor Tengah Selatan. Manusia bermoral baik akan memperlihatkan moral
baiknya dalam pergaulan dengan sesama manusia dan alam sekitar.
Agama suku merupakan
sebutan untuk kepercayaan lokal suatu suku yang sudah ada sebelum agama-agama
resmis yang diakui negara namun berasal dari luar Indonesia ada di negara ini. Kepercayaan
Uis Pah dan Uis Neno merupakan kepercayaan nenek moyang suku Timor yang yang
terungkap dalam berbagai ritual yang masih dilakukan pelakunya sampai kini.
Dalam agama suku biasanya terdapat ciri-ciri khusus sebagai berikut. Agama
suku erat kaitannya dengan penyembahan terhadap dunia roh yang dianggap
mendiami dan menguasai alam, biasanya memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewi
yang memiliki nama. Dengan demikian kondisi kepercayaan terhadap kuasa
supernatural sangat terasa. Tak heran kalau pada agama suku sering ditemukan
benda benda berbentuk jimat yang dianggap memiliki kekuatan magis. Sebagai
agama yang sarat dengan tutur kata, agama suku dilengkapi dengan
mantera-mantera.
Pemimpin agama suku
yang kharismatik harus menguasai berbagai mantera karena dialah yang dianggap
dapat berhubungan secara langsung dengan roh-roh yang disembah oleh masyarakat
penganut kepercayaan atau agama suku tertentu. Kaitan antara agama suku danadat
istiadat masyarakatnya sangat erat. Penganutnya terikat pada nonna adat atau
hukum yang ada dalam suku. Agama suku memiliki berbagai upacara ritual dalam
berbagai siklus kehidupan seperti kelahiran, perkawinan, kematian, menanam dan
memanen tanaman, dan sebagainya. Cerita cerita mitos sangat erat pada kehidupan
masyarakat penganut agama suku tersebut. Sebagai kepercayaan yang bersifat
turun temurun agama suku tidak memiliki ajaran yang sistimatis. Kepercayaan ini
lebih banyak berisi cerita cerita mitos yang berupa petuah atau larangan yang
biasanya dianut oleh penganutnya.
Kepercayaan Uis Pah dan
Uis Neno diaktualisasikan menurut bahasa masing-masing sub suku yang ada di
pulau Timor. Ungkapan-ungkapan ritual dalam bahasa Dawan di desa Amarasi Barat
yang terletak di kabupaten Kupang misalnya berbeda dengan ungkapan-ungkapan
ritual yang terdapat pada bahasa suku Boti. Mereka memang sama-sama suku Atoni
namun bahasanya masih banyak memiliki perbedaan. Namun sebagai sesama suku yang
mempercayai Uis Neno dan Uis Pah nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi
lokal mereka tidak banyak berbeda. Mereka sangat memberikan penghargaan
terhadap alam yang perlu dilestarikan karena menurut mereka alam merupakan
sarana untuk berhubungan dengan kekuatan-kekuatan yang terdapat pada Uis Pah
dan Uis Neno.
Unsur-unsur alam yang
harus dipelihara seperti air kayu dan batu dianggap dapat menjadi tempat untuk
melakukan pemujaan terhadap Uis Neno dan Uis Pah. Biasanya sebuah keluarga
memiliki tempat-tempat pemujaan di dalam hutan yang merupakan warisan dari keluarga
mereka. Tempat tempat ini disebut sebagai uis fatu (pemujaan dengan memakai
batu besar), uis kau ( pemujaan denganmemakai kayu) dan uts oe (pemujaan dengan
memakai air). Selain pada tempat berbatu-batu pemujaan terhadap roh roh juga
dilakukan di rumah yang disebut sebagai Ume Leu yang bermakna rumah pemaii.
Rumah ini dianggap sebagai pemujaan terhadap roh leluhur yang sudah mati tapi
dianggap masih menjiwai keluarga mereka yang hidup. Persembahan yang diberikan
kepada kekuatan-kekuatan gaib tersebut adalah benda bernyawa seperti binatang.
Bab
IV
Strategi
Penginjilan terhadap Suku Boti Timor Tengah Selatan NTT
Dari data yang penulis dapatkan
bahawa Banyak kaum tua Boti yang tidak lancar bahkan
tidak bisa berbahasa Indonesia termasuk sang raja. Sehari-hari mereka
menggunakan bahasa daerah Dawan. Namun demikian bahasa bukan halangan bagi
warga Boti untuk menyambut tamu-tamu mereka yang datang ke desa mereka.
Keramahan dan senyum hangat mereka rasanya sudah lebih dari cukup sebagai media
komunikasi, simbol keterbukaan mereka terhadap para pengunjung yang ingin
merasakan kedamaian dan kesahajaan di Desa Boti.oleh sebab itu penulis berniat
untuk belajar dan memperdalam bahasa Timor Dawan untuk bisa masuk kedalam suku
Boti dan dapat memberitakan kabar keselamatan dari Yesus Kristus.
Setelah penulis berhasil mempelajari bahasa Dawan penulis akan
menetap untuk beberapa lama agar bisa lebih dekat dan akrab dengan masyarakat
suku Boti. Dengan kedekatan itu penulis lebih mudah memasukan Injil didalam budaya
dan kepercayan mereka. Penulis akan memberitakan bahwa Uis Neno sebagai papa
atau bapak yang merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang
bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia. Pehamana
suku Boti Yang selama ini mereka percayai adalah Yesus Kristus dan hanya
melalui Yesus Kristus saja setiap orang bisa masuk surga, dengan percaya kepada
Yesus kita semua sudah memperoleh jaminan untuk masuk surga. Demikianlah
strategi yang akan penulis pakai untuk memenagkan suku Boti.
Bab
V
Kesimpulan
Jumlah suku Boti semakin berkurang
tetapi meski jumlah penduduk
Boti Dalam makin berkurang, namun mereka masih survive tetap melaksanakan
upacara-upacara peninggalan nenek moyang mereka. Suku
Boti dikenal sangat memegang teguh keyakinan dan kepercayaan mereka yang
disebut Halaika. Mereka percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis
Neno. Uis Pah sebagai mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga
kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Sedangkan Uis Neno
sebagai papa atau bapak yang merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan
seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia.
Suku Boti adalah suku yang sangat kuat memegang kepercayaannya dan
penulis ingin memasukan injil melalui pemahaman tetang kepercayaannya selama
ini. Bahwa melalui Yesus kristus saja setiap orang bisa masuk surga, dengan
percaya kepada Yesus kita semua sudah memperoleh jaminan untuk masuk surga. Dan
penulis mengambil keputusan bahwa panggilan buat Yesus Kristus adalah Uis Neno
menurut pemahaman suku Boti.
Lampiran
Foto
Kabupaten Timor Tengah Selatan dibagian lebah adalah tempat kediaman suku Boti
(Almarhum Raja Boti
Usif Nune Benu.) (Raja Boti, Usif Nama Benu)
(Kegiatan
sehari-hari menenun dan memintal)
Nama
Benu merupakan anak laki-laki ke dua atau anak ketiga dari Nune Benu yang
diangkat menjadi raja baru suku Boti setelah raja lama Nune Benu meninggal
dunia. Kakak lelakinya yang bernama Muke Benu telah memeluk agama Kristen
sehingga kehilangan hak menjadi raja Boti dan harus meninggalkan kompleks istana
Boti. Usianya saat ini sudah sekitar 40 tahun namun belum menikah karena itu,
saat penelitian ini, belum menggunakan konde pada rambutnya. Ia tidak dapat
menggunakan bahasa Indonesia seperti ayahnya. Kharismanya sudah tampak pada
sikapnya yang sangat hati-hati dalam berbicara. Ia juga melakukan
kegiatan-kegiatan doa-doa terhadap Uis Neno dan Uis Pah yang ada di dalam alam.
Menurutnya doa harus menggunakan sarana alam berupa batu yang ditempelkan ke
tanah dan di atasnya ditaruh kayu dengan tangan yang akan menghubungkan dirinya
dengan alam
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Proyek Pembinaan
Permuseuman, 1996/1997: 7(diambil 21 November 2011 )
ADM, Parera. Sejarah Pemerintahan
Raja-Raja Timor.( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999)44.
[16]Imelda Chr. Tunliu (“Suku Boti” dalam mata kuliah Agama Suku dan
Kebatinan pada Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga.)