ANGKATAN 2008

ANGKATAN 2008

Kamis, 28 Maret 2013

Ringkasan Tentang Aristoteles


Admin Renal
Aristoteles (384-322 seb. M)
            Aristoteles kahir di desa Stagira, negeri Thrakia, yaitu bagian utama Yunani modern sekarang. Ayahnya adalah seorang dokter dan pengalaman Aristoteles dalam rumah ayahnya rupanya sangat mempengaruhi caranya meninjau dunia sekitarnya. Di kemudian hari kegemarannya ialah menggambarkan sifat-sifat pelbagai jenis makhluk hidup dan benda dari dunia alam. Pada tahun 367 seb. M., ia pindah ke Atena dan memasuki Akademi Plato. Di sana ia belajar dan bekerja selama 20 tahun, yaitu sampai Plato wafat.
            Empat tahun kemudian, yaitu pada tahun 343, Aristoteles dipanggil menjadi guru pribadi putra Filipus, raja Makedonia. Pada waktu itu, putra yang bernama Iskandar baru tiga belas tahun umurnya. Aristoteles mendidik putra Filipus itu selama tiga tahun, yaitu sampai ia dipanggil ayahnya melaksanakan pelbagai tugas kemiliteran. Meskipun tidak ada dokumen yang menggambarkan sifat pendidikan yang diterima Iskandar itu, namun Aristoteles rupanya telah menanamkan dalam diri anak didiknya kehausan akan pengetahuan dan cara meneliti apa saja yang ditemuinya dengan seksama. Di kemudian hari Iskandar sebagai raja dan jenderal, menyebarkan kebudayaan Yunani ke semua daerah yang berhasil ditaklukkan tentaranya. Iskandar mendirikan sebuah perpustakaan dan museum di kota Iskandaria di Mesir, dua lembaga yang tidak dikenal dunia Yunani sebelumnya.
            Pada tahun 334, Aristoteles kembali lagi ke kota Atena dan mendirikan sekolahnya dalam suatu gedung Lyceum, suatu ruang olahraga yang merupakan bagian dari kuil Appolos. Kemudian sebagaimana nama sekolah Plato, yaitu Akademi, terus hidup sebagai istilah untuk banyak macam perguruan tinggi, demikianlah pula nama sekolah Aristoteles itu diambil alih sebagai nama untuk tempat-tempat di mana orang membahas topik dan tema yang penting. Dalam taman Lyceum itu Aristoteles condong berjalan hilir-mudik sambil berbicara dengan para murid tentang berbagai ilmu atau masalah tertentu. Berdasarkan kebiasaan Aristoteles ini, maka gaya mengajarnya membuat sekolah itu dikenal sebagai sekolah “peripatetis”, suatu istilah yang diambil dari kata kerja Yunani peripatein, yang artinya berjalan-jalan. Di sana ia mengajarkan logika, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu bintang, ilmu jiwa dan etika. Ruang lingkup yang luas ini menunjukkan kepandaiannya. Dalam Abad Pertengahan di Eropa Barat kurikulumnya hidup kembali dalam bentuk yang dikenal sebagai Ketujuh Pokok Seni Liberal (Septem Ars Liberales).
            Pengaruh Aristoteles atas dunia cendekiawan amat besar, sungguhpun pelbagai seluk-beluk tertentu dari ilmunya tidak sesuai lagi dnegan hasil penyelidikan modern, namun banyak istilah ilmiah yang dipakai Aristoteles masih dipakai dalam dunia ilmu pengetahuan dewasa ini. Tulisan-tulisannya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan kemudian ke dalam bahasa-bahasa Eropa Barat. Di sana, khususnya pada Universitas Paris, gagasannya diambil-alih oleh Prof. Thomas Aquino yang mengolahnya ke dalam bentuk baru. Dengan sistem pengajarannya dia berusaha menyesuaikan pandangan Aristoteles dengan iman Kristen. Sistem intelektual itu masih berlaku dalam pemikiran teologi Gereja Katolik.
            Pandangan Aristoteles terhadap pendidikan dapat disimpulkan dari isi dua kaya utamanya, yaitu Etika Nikomakia dan Politik. Bagi dia, pendidikan termasuk kegiatan insani yang mempunyai maksud utama, yaitu menolong orang mencapai kebahagiaan (eudaimonia). Aristoteles menjernihkan arti kebahagiaan itu selaku penggunaan semua kemungkinan dalam diri seseorang yang dapat diserasikan dengan kebajikan. Tetapi kebajikan itu bukanlah harta milik yang disimpan dalam “bank”, melainkan suatu mutu yang perlu diamalkan terus-menerus sepanjang hidup.
            Kalau kita menerima bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup dan karena itu tujuan pendidikan juga, maka bagaimanakah tujuan tersebut dapat dicapai menurut pemikiran Aristoteles? Pertama-tama, sebagai dasar pendidikannya, ia menitikberatkan pentingnya pancaindera manusia. Sama seperti halnya dengan ribuan orang lainnya, maka ia juga mengamati kecondongan anak-anak kecil untuk menyentuh benda-benda, mencium bunga, mengamati dunia sekitarnya, mendengar suara anggota-anggota keluarga, meresapi maknanya dan seterusnya. Secara otomatis anak-anak melibatkan dirinya dalam kegiatan demikian. Oleh karena itu guru hendaknya mengembangkan tugas belajar yang sesuai dengan  minat pembawaan itu. Sejak kecil si anak berangsur-angsur belajar membedakan antara pelbagai pengalaman, sampai ia mampu menyesuaikan kelakukannya dengan akbiat kegiatan tertentu. Apabila ia menyentuh kompor panas, tangannya segera ditarik kembali. Kemudian kompor itu akan menjadi tanda dari kesakitan tadi. Singkatnya, ia belajar dari pengalamannya. Berdasarkan pengamatan itu Aristoteles menarik kesimpulan, bahwa pendidikan melalui kebiasaan harus mendahului pendidikan melalui akal. Dengan kata lain, baik buruknya sesuatu orang dipelajari melalui apa yang dialaminya. Sehubungan dengan ini Aristoteles menulis:
Kita tidak memperoleh kesanggupan melihat dengan cara melihat terus-menerus dan kita juga tidak mendapat kesanggupan mendengar dengan cara mendengar terus-menerus, melainkan justru sebaliknya. Oleh karena kita mempunyai kemampuan melihat dan mendengar, kita mulai memanfaatkannya. Kita tidak memperoleh pancaindera tersebut dengan jalan mempergunakannya. Lain sekali halnya dengan kebajikan. Kita memperoleh kebajikan sebagai akibat bertindak secara bajik... Kita menjadi orang-orang yang adil dengan cara berindak adil...menjadi berani dengan cara berbuat berani... Oleh karena itu, apakah kita terlatih sejak kecil dengan kebiasaan ini atau itu merupakan sesuatu yang amat penting.
            Jadi, para pelajar hendaknya dituntun dan dianjurkan untuk bergaul dengan anak-anak, muda-mudi dan orang dewasa yang berbudi tinggi. Subyek pergaulan itu bukan anggota keluarga atau teman-teman saja, melainkan termasuk juga tokoh-tokoh yang muncul dalam drama, cerita, kitab suci, dan yang aktif dalam masyarakat sebagai rohaniawan, pemimpin politik, dramawan dan seterusnya. Oleh karena itu, tugas seirang guru ialah untuk menolong murid-muridnya meningkatkan diri menjadi sama dengan orang-orang yang berbudi tinggi.
            Jika kebiasaan berbudi itu telah terbentuk atau lebih tepat apabila dikatakan “sedang terbentuk dalam diri mereka, maka para pendidik pun wajib memperhatikan perkembangan nalar para pelajar. aristoteles sendiri mendorong murid-muridnya untuk meneliti dunia alam sekitarnya, menggolongkan keterangan yang diperoleh dari usaha itu dan kemudian menarik kesimpulan berdasarkan hasil penelitian itu, atau dalam kata-kata Aristoteles sendiri:            Jadi, para pelajar hendaknya dituntun dan dianjurkan untuk bergaul dengan anak-anak, muda-mudi dan orang dewasa yang berbudi tinggi. Subyek pergaulan itu bukan anggota keluarga atau teman-teman saja, melainkan termasuk juga tokoh-tokoh yang muncul dalam drama, cerita, kitab suci, dan yang aktif dalam masyarakat sebagai rohaniawan, pemimpin politik, dramawan dan seterusnya. Oleh karena itu, tugas seirang guru ialah untuk menolong murid-muridnya meningkatkan diri menjadi sama dengan orang-orang yang berbudi tinggi.
            Jika kebiasaan berbudi itu telah terbentuk atau lebih tepat apabila dikatakan “sedang terbentuk dalam diri mereka, maka para pendidik pun wajib memperhatikan perkembangan nalar para pelajar. aristoteles sendiri mendorong murid-muridnya untuk meneliti dunia alam sekitarnya, menggolongkan keterangan yang diperoleh dari usaha itu dan kemudian menarik kesimpulan berdasarkan hasil penelitian itu, atau dalam kata-kata Aristoteles sendiri:
Oleh karena itu harus kita periksa kesimpulan yang dikemukakan murid dengan mengujinya menurut data-data tertentu. Apabila kesimpulan tersebut sesuai dengan data itu, maka ia dapat diterima. Kalau tidak, maka ia harus kita anggap hanya suatu teori.
            Aristoteles ingin melibatkan para muridnya dalam kegiatan mengambil keputusan etis, dalam arti bahwa mereka harus belajar bagaimana mempertimbangkan pelbagai kemungkinan etis dan akhirnya memilih keputusan yang paling sesuai dengan patokan “kebahagiaan” . persoalannya ialah, bagaimana caranya orang dapat menemukan ukuran yang dapat dipercaya? Menurut Aristoteles, kuncinya ialah “jalan tengah kencana” (golden mean), sebab dalam pengalaman sehari-hari jarang sekali ditemukan ukuran mutlak tentang perilaku yang tepat dalam semua keadaan. Pendekatan yang lebih serasi ialah memilih jenis perilaku di tengah-tengah dua kemungkinan yang saling berbeda, yang mirip dua kutub perilaku yang bertentangan, misalnya jalan tengah antara kepengecutan dan nekad secara membabi buta ialah keberanian; antara kemalasan dan nafsu ialah ambisi; antara kerendahan hati dan kesombongan ialah kesederhanaan. Apabila para murid mendekati keputusan tersebut secara obyektif, maka mereka condong menjauhkan diri mereka dari segala kemungkinan yang bersifat keterlaluan. Mereka sedang menyerasikan diri juga dengan irama alam dunia; mereka sedang mengalami kebajikan moral dan baru boleh mendapat gelar “terpelajar”.
            Meskipun Aristoteles mempertahankan siasat memilih “jalan tengah kencana” sebagai pedoman mengambil keputusan etis, ia akui juga bahwa asas itu tidak berlaku untuk semua macam perilaku. Sebabnya ialah, karena ada perilaku yang selalu salah, misalnya mencuri, membunuh, berzinah. Semua perilaku tersebut dianggap salah, dan bukan kekurangan atau keterlaluan di dalamnya yang membuatnya menjadi salah. Siapa saja yang membunuh, mencuri, berzinah takkan kunjung dianggap berbuat baik karena tidak ada keadaan dalam mana perilaku tersebut merupakan suatu kebajikan. Apabilan pendidikannya berhasil sesuai dengan yang dimaksud, maka si pelajar sudah mencapai kesempurnaan insani yang terbukan bagi manusia. Perilakunya menampilkan suatu pribadi yang berbudi tinggi yang bijaksana dan yang mampu meilhat hubungan-hubungan yang sejati. Singkatnya, ia boleh dianggap seorang yang terpelajar, seorang yang berbahagia.

Kamis, 09 Agustus 2012

PESERTA DIDIK DALAM PAK

Oleh: Ronald Y. Sinlae, S.Th

BAB 1
PENDAHULUAN

Pendidikan Agama Kristen berpangkal kepada persekutuan umat Tuhan di dalam Perjanjian Lama.[1] Pendidikan Kristen sendiri oleh Prof. Robert W. Pazmino diartikan sebagai “usaha bersengaja dan sistematis, ditopang oleh upaya rohani dan manusiawi untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, keterampilan-keterampilan, dan tingkah laku yang bersesuaian atau konsisten dengan iman Kristen, dalam rangka mengupayakan perubahan, pembaharuan dan reformasi pribadi-pribadi, kelompok bahkan struktur oleh kuasa Roh Kudus, sehingga peserta didik hidup sesuai dengan kehendak Allah”.
Pendidikan agama Kristen tidak hanya terbatas di sekolah formal saja, tetapi juga meliputi pendidikan di keluarga maupun di gereja.[2] Berbicara mengenai usaha pendidikan, maka mau tidak mau selalu ada pendidik dan peserta didik, yang merupakan unsur utama yang membentuk pendidikan. Dalam hal ini, keduanya merupakan kopartner di dalam Pendidikan Agama Kristen.[3] Kopartner ini dapat diartikan secara bebas sebagai rekan sekerja. Dengan mempertanyakan siapakah kopartner dalam PAK, sesungguhnya yang hendak dibahas adalah mengenai persepsi kita tentang pendidik, maupun persepsi kita tentang peserta didik. Dengan kata lain, kita hendak membahas identitas kita sebagai pendidik dan peserta didik. Berbicara mengenai kopartner, yaitu berbicara tentang rekan , atau hubungan kerjasama yang baik antra pihak yang satu dengan yang lain. Dr. Yusak Hadisiswantoro dalam bukunya tentang “Partner Rohani”(Spiritual Partnership) menulis bahwa Partner Rohani adalah suatu program yang  dibuat dengan tujuan agar setiap orang percaya atau anggota gereja memiliki rekan atau sahabat rohani dalam gereja Tuhan. Dengan demikian diharapkan semua anggota  gereja yang ada bisa saling memperhatikan.[4]
John Maxwell mengatakan dalam bukunya ”Partners in Prayer”, bahwa ketika sekelompok orang dengan sunggoh-sungguh dalam jaringan doa yang dibuatnya, maka hasilnya adalah peningkatan pendapatan gereja dan jumlah jemaat.
Didalam dunia pendidikan selalu ada pendidik dan yang didik (peserta didik). Dengan mempertanyakan siapakah kopartner dalam PAK, sesungguhnya yang hendak dibahas adalah masalah persepsi kita tentang diri sendiri, sebagai pendidik maupun tentang peserta didik. Tujuannya memberikan kesadaran akan asumsi-asumsi antropologis yang mendasari kegiatan pendidikan kita dalam PAK.


BAB 2
PESERTA DIDIK DALAM PAK

Groome dalam bukunya Christian Religious Education mengatakan bahwa peserta didik adalah saudara sepengembaraan bersama dengan pendidik dalam kurun waktu tertentu. Mereka memiliki pandangan hidup dan tujuan sendiri yang unik. Konsep yang diusulkan Groome mengenai peserta didik dapat diringkas dalam dua hal, yaitu:

1.      Peserta Didik adalah Subyek dan Bukan Obyek
Menurut Groome, seringkali banyak pendidik termasuk pendidik dalam PAK, menganggap peserta didik sebagai obyek dari pendidikan. Secara teologis, kita harus mengatakan bahwa sesungguhnya mereka mempunyai hak yang melekat pada dirinya untuk diperlakukan dengan penghargaan oleh karena mereka memiliki individualitasnya sendiri, dan lebih dari itu mereka mempunyai kapasitas atau kemampuan untuk merespons panggilannya sendiri.
Pendapat Groome tersebut di atas cukup masuk akal dan dapat diterima, atau lebih tepatnya dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan sekaligus kritisi untuk para pendidik mengenai konsep tentang peserta didik yang selama ini dianut. Peserta didik harus diperlakukan sebagai subyek terutama karena kita percaya sesuai dengan antropologi Alkitab bahwa semua orang diciptakan menurut gambar Allah.[5] Peserta didik kita dan kita sebagai pendidik sedang berada dalam perjalanan bersama, yang mempunyai panggilan dan juga hak untuk bertumbuh dalam kesegambaran dengan Pencipta kita.
Perjalanan setiap orang menuju kepada Allah adalah suatu yang suci, dan setiap orang dengan caranya sendiri merupakan suatu yang unik. Oleh sebab itu, peserta didik bukanlah obyek yang dapat diperlakukan atau dibentuk menurut kemauan kita, melainkan merupakan subyek dengan siapa kita masuk dalam suatu hubungan kesalingan dan kesederajatan. Sebagai subyek, maka peserta didik kita mempunyai hak untuk mengatakan kata-kata mereka sendiri dan untuk memberi nama kepada realitas mereka sendiri. Sebagai pendidik, kita juga memiliki hak untuk mengatakan kata-kata kita sendiri dan merupakan suatu kewajiban untuk mendengarkan mereka.[6]
Kita selalu diingatkan akan fakta bahwa manusia yang seutuhnyalah yang dapat berpikir, berpersepsi, berkeinginan dan memiliki kehendak. Dengan demikian pendidikan anak atau seseorang seharusnya dianggap sebagai satu kesatuan proses. Sangat bodoh jika kita berpikir bahwa kita dapat mengajarkan pengetahuan kita tanpa mengarahkan minat, mengisi kepala dengan pengetahuan tanpa mempengaruhi emosi, inklinasi, keinginan, serta aspirasi dari hatinya. Melatih kepala dan hati harus berjalan bersama-sama, dan pada keduanya ini terdapat fakta mendasar bahwa anak (peserta didik) adalah pembawa gambar Allah harus menjadi faktor penentu.[7] Ketika seorang pendidik memperlakukan peserta didiknya sebagai obyek, maka sebenarnya yang ia lakukan adalah berusaha menjadikan peserta didik tersebut sebagai sasaran “pemindahan” materi pengetahuan dan menciptakan miniatur dirinya secara intelektual, namun ia lupa bahwa seorang peserta didik memiliki aspek-aspek lain, yaitu kemampuan berpikir, dan hati. Peserta didik mempunyai kehendaknya sendiri dan secara alami dibekali kemampuan untuk mengambil keputusan-keputusan untuk dirinya sendiri. Mungkin saja kita bisa membentuk intelektualnya dengan memberi materi-materi tertentu, tetapi kita tidak dapat membentuk hatinya dan kehendaknya sesuai keinginan kita secara semena-mena dan dengan begitu mudah, sebab mereka bukanlah benda mati atau ‘obyek’ semata-mata.
Di dalam hubungan kesederajatan ini, maka ada kesempatan bagi kita sebagai pendidik untuk membagi apa yang kita miliki (baik iman dan visi maupun pengharapan kita). Namun kita juga harus membantu mereka untuk mengetahui pengalaman iman dan visinya sendiri. Hal ini juga sesuai dengan teladan Yesus sendiri. Dapat dikatakan bahwa Yesus mendekati orang-orang berdosa sebagai subyek. Manusia sebagai subyek mempunyai kemerdekaan dan tanggung jawab pribadi. Dalam kaitan ini manusia tidak terhisap kepada masyarakatnya sehingga tanggung jawab pribadi hilang dan diemban oleh masyarakat. Manusia adalah individu yang berada dalam proses untuk menuju kedewasaan yang sempurna (Mat 5:48), dan proses dapat dilewati melalui interaksi di dalam hubungan di antara sesama manusia dalam kebudayaan masing-masing.[8] Jadi, persepsi pertama kita mengenai peserta didik adalah bahwa mereka merupakan subyek yang perlu diperlakukan dengan hormat, dan dengan siapa kita masuk dalam hubungan antar subyek.

2.      Peserta Didik (seperti juga pendidik) Dipanggil dan Mampu Untuk Menjadi Pencipta-pencipta Sejarah
Manusia, sebagai makhluk ciptaan yang sempurna, memiliki potensi untuk mengambil keputusan dan memberi andil atau warna dalam kehidupan. Manusia tidak seharusnya menjadi pion yang terpenjara dalam roda nasib yang tidak bisa dihindari. Manusia tidak hanya dibentuk oleh sejarah, tetapi juga membentuk sejarah. Artinya, kita dapat memberi andil dalam menentukan apa yang akan terjadi di masa depan, dengan membuat pilihan-pilihan dan melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada perubahan yang baik. Untuk hidup layak, di masa lalu seorang manusia modern harus terus-menerus mengambil berbagai pilihan di dalam hidup sehari-harinya. Ada pilihan-pilihan yang berdampak jangka pendek, dan ada pilihan-pilihan yang berdampak jangka panjang.[9]
 Dalam konteks pembentukan iman Kristen, hal ini berarti bahwa peserta didik dapat mencapai kesadaran yang menyebabkan mereka mampu menghadirkan Kerajaan Allah serta mempersiapkan penyempurnaannya. Hal ini merupakan tugas bersama baik pendidik maupun peserta didik. Apa yang dikatakan disini sesungguhnya mempunyai implikasi yang jauh terhadap bagaimana kita melakukan tugas PAK, yakni untuk melihat peserta didik kita sebagai  umat yang terpanggil untuk terlibat dalam dunia ini demi menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah dan membentuk masa kini ke arah penyempurnaan Kerajaan Allah.
Memperlakukan peserta didik sebagai subyek-subyek dan pencipta sejarah, menghendaki suatu pergeseran yang pokok dalam kesadaran kebanyakan para pendidik PAK. Kita perlu melihat secara kritis biografi pendidikan serta model yang membentuk kita, sebab pada umumnya hal tersebut sangat mempengaruhi cara kita mendidik. Sudah tentu perlu diakui bahwa tidak mudah untuk memenuhi semua ideal kita, karena sementara kita sendiri menunjuk ke depan bagi para peserta didik kita, maka sebenarnya kita juga menunjuk ke depan bagi diri sendiri. Artinya, kita masih terus bertumbuh dan berkembang menuju fungsi yang ideal dari PAK itu sendiri. Masalah lain yang ikut mempersulit kita untuk memperlakukan peserta didik sebagai subyek ialah struktur sosial dimana pendidikan itu terjadi.[10]
PAK sesungguhnya hadir bagi dan oleh seluruh jemaat, dan bertujuan untuk membimbing jemaat menuju kepada kedewasaan iman Kristen. Biasanya PAK mulai diajarkan pada anak-anak karena hal tersebut justru dapat mengembangkan hubungan intersubyek dengan anak-anak, yang bila kita lihat di dalam masyarakat hal tersebut justru terjadi sebaliknya yaitu bahwa anak-anak diperlakukan sebagai obyek. Tulisan-tulisan tentang sejarah masa kanak-kanak menunjukkan bahwa banyak dari penyakit sosial harusnya ditemukan akarnya dalam penindasan, dimana anak selama ini telah diperlakukan dengan kurang baik. Kita tidak boleh melupakan bahwa pada hakekatnya, anak-anak pun merupakan pribadi-pribadi. Singkatnya, persepsi kita tentang siapakah peserta didik kita akan mempengaruhi sikap dan perlakuan kita terhadap mereka. Persepsi didasarkan pada asumsi teologis yang menghargai peserta didik sebagai subyek, yang mempunyai panggilan serta mampu menjadi pencipta sejarah. Tugas kita untuk menolong mereka merealisasikan potensinya tersebut dalam realitas sosial.




BAB 3
PENDIDIK DALAM PAK


Harus diakui bahwa banyak dari pendidik telah kehilangan identitas tentang siapa sesungguhnya dirinya dan apa yang ia harapkan dari dirinya dalam konteks persekutuan iman. Sekalipun banyak pemaparan yang mengetengahkan mengenai tugas-tugas pendidik, namun itu belum memberikan gambaran yang utuh dan jelas mengenai siapa sebenarnya pendidik itu, khususnya di dalam kerangka PAK.
Gereja mula-mula mengakui pendidik (didaskaloi) sebagai pelayan-pelayan di antara berbagai pelayanan (band. 1 Kor 12:28; Ef 4:11). Kita pun seharusnya kembali melihat peranan pendidik sebagai suatu pelayanan Kristen yang valid dan otentik yang bekerja sama dengan pelayanan-pelayanan yang lain demi kebaikan ‘seluruh tubuh’. Pendidik dalam PAK bukan sekedar penolong pendeta, akan tetapi pada pihak lain hak mendidik bukanlah hak khusus dari pendidik (pengajar; guru) PAK saja, sebab pelayan-pelayan lain pun sesungguhnya mempunyai kewajiban untuk mendidik. Jadi semua orang Kristen memiliki tanggung jawab mendidik.[11] Tugas mendidik adalah menolong seorang manusia untuk memiliki pemahaman yang sehat mengenai hidup, gambar diri yang sehat, serta persepsi-persepsi yang akurat tentang lingkungannya sehingga mengenali pilihan-pilihan yang ada dan mampu mengambil pilihan yang tepat.[12] Berikut kita akan melihat siapa-siapa yang disebut atau bertanggung jawab sebagai pendidik, yaitu:
1.      Orangtua (keluarga)
Allah telah menunjukkan pada kita siapa yang dianggap sebagai pendidik yang bertanggung jawab dari seorang anak, ialah orangtua. Orang tua menjaga mereka sampai mereka bisa mandiri dan orangtua diarahkan oleh cinta kebapaannya untuk menyediakan kebutuhan fisik, mental, moral dan spiritual anak-anaknya. Orangtua menuntun, melindungi dan mendukung kepentingan mereka yang utama. Oleh karena itu wajar bila orangtua harus menjadi pendidik yang bertanggung jawab. Jika orangtua merasa terpaksa untuk harus meminta bantuan dari orang-orang lain, orang-orang ini harus merasa bahwa mereka berada di posisi sebagai pengganti orangtua (loco parentis).[13] Pendidikan agama dalam keluarga merupakan dasar bagi seluruh pendidikan lainnya dalam masyarakat. Oleh karena itu, sebaiknya pokok-pokok utama dari kepercayaan Kristen sebaiknya mulai dipelajari dan dikenal oleh manusia justru di dalam lingkungan keluarga Kristen.[14]

2.      Guru PAK (di sekolah-sekolah formal)
Peran guru dewasa ini telah mengalami pergeseran, dari yang dominan sebagai satu-satunya sumber informasi menjadi fasilitator, motivator, dinamisator dan inspirator.[15] Guru di sekolah-sekolah formal harus berjalan seiring dengan keluarga sebagai pendidik untuk membantu para peserta didik bertumbuh dan berkembang sesuai dengan kehendak Allah.
Para psikolog mengingatkan kita akan fakta bahwa pendidikan adalah suatu proses yang bersifat kesatuan. Dengan demikian, merupakan suatu kebodohan bila agen pendidikan yang paling penting pada saat ini harus mengabaikan elemen yang paling fundamental dalam pendidikan; dan juga bahwa pendidikan sekolah harus merupakan antitesis dari semangat yang ada di dalam keluarga Kristen, karena hal ini akan menghasilkan kehidupan yang terpecah.[16] Guru, di dalam hal ini memiliki tanggung jawab penting, di antaranya: (a) sebagai penafsir iman Kristen; (b) sebagai gembala bagi murid-muridnya; (c) menjadi pedoman dan pemimpin; (d) guru adalah seorang penginjil.
3.      Pendeta
Di dalam PAK, pendeta memiliki tugas: (a) sebagai penilik umum bagi segala cabang pendidikan agama itu; (b) membela dan mempropagandakan PAK; (c) mempelajari segala soal mengenai PAK; (d) bekerja sama dengan sinodenya mengenai pokok PAK. Seharusnya pendeta menjadi seorang guru yang cakap.[17] B. Sidjabat merangkumkan peran seorang pendeta dalam 2 hal yaitu: sebagai penyelenggara PAK dan sebagai guru/pengajar PAK.
Pendeta dapat mengajar melalui mimbar maupun mengajar orang per orang atau juga melalui wadah pelayanan.[18] Pendetalah yang memberitakan dan menerangkan iman Kristen kepada anggota jemaat. Dialah yang wajib memberikan teladan tentang sikap hidup dan kelakuan Kristen, sebagaimana Tuhan Yesus mengibaratkan hubungan itu dengan seorang gembala beserta domba-dombanya. Supaya pendeta sanggup mengerjakan tugasnya sebagai guru, maka perlu dilatih sebaik-baiknya, dan latihan tersebut diberikan di dalam sekolah-sekolah teologi.[19]
4.      Jemaat (Gereja)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pendidikan merupakan satu kesatuan, dimana setiap jemaat memiliki tanggung jawab untuk mendidik anggota yang lain (khususnya anak-anak dan remaja/pemuda). Hal ini perlu disadari, sehingga di dalam keseharian mereka, mereka ingat bahwa apapun yang mereka lakukan dan bicarakan menjadi suatu ‘bahan pelajaran’ bagi orang-orang di sekitar mereka.

Setiap pendidik haruslah memiliki persepsi yang benar mengenai peranannya sebagai pendidik. Beberapa hal menyangkut persepsi tentang peranan pendidik di antaranya yaitu:
1.      Sebagai wakil Kristus[20]
Setiap pelayanan di dalam gereja yang mula-mula mempunyai tugas mewakili Kristus, yang bangkit dengan pelayanan dalam bentuk apapun baik kepada persekutuan iman maupun kepada dunia (Ef 4:11). Pelayanan dari pendidik adalah untuk menjadi pelayan firman, dimana pelayanannya adalah secara sadar ditujukan kepada proses sehingga orang dapat menginkarnasikan firman Allah dalam eksistensinya setiap hari. Pelayanan para pendidik dalam PAK bukan terutama untuk memberitakan, melainkan terutama untuk membentuk dan mendidik umat agar mempraktekkan berita Injil itu. Namun, perlu diingat bahwa sebelumnya, firman itu harus diterapkan dalam hidup kita (sebagai pendidik) terlebih dahulu.
2.      Sebagai “sahabat”[21]
Hasil dari survey telah membuktikan bahwa 80% pendidikan yang diterima oleh seorang anak di dalam keluarga ikut membentuk karakter dan masa depan si anak. Bila anak tidak tumbuh dalam keluarga yang bersahabat, maka akibatnya mereka akan melihat dunia sebagai dunia yang tidak ramah dan perlu dilawan. Lingkungan pendidikan di sekolah dapat entah memperparah atau mengurangi dan mengatasi luka tersebut. Hal tadi tergantung pada bagaimana pendidik memainkan peran mereka.bila mereka berperan sebagai sahabat bagi peserta didiknya, maka terbuka peluang untuk para peserta didik memperoleh gambar diri yang sehat dan benar.
Sebagai sahabat, seorang pendidik dapat menolong peserta didiknya untuk meras diterima, dihargai, dan dianggap penting. Selanjutnya, hal ini akan memberikan pengaruh positif dalam pengembangan potensi peserta didik sesuai dengan anugerah Allah. Sebagai sahabat, pendidik juga dapat menolong peserta didik untuk mengenali pilihan-pilihan yang tersedia dalam keadaan paling sulit sekalipun. Akhirnya, sebagai sahabat pendidik dapat menolong mereka untuk mengambil salah satu pilihan sehingga mereka mencapai kemandirian.
Dengan demikian, sesungguhnya pendidik dalam PAK mampu untuk memilih kehidupan dan untuk menjalani kehidupan masa kini mereka secara manusiawi dan dengan sukacita. Namun pada saat yang sama, mereka juga mempunyai tugas untuk menolong orang lain menjalani kehidupannya seperti itu juga di dalam Yesus Kristus.




BAB 4
KESIMPULAN
           
            Secara teologis kita mengetahui bahwa peserta didik adalah mereka yang diajar dan mengajar, sebab mereka yang diajar membutuhkan bimbingan namun mereka bukanlah objek sebab mereka adalah subjek. Subjek adalah sesuatu yang memiliki kehendak dan kemauan dalam lingkup kopartner PAK. Subjek tidak hanya peserta namun juga pendidik karena adanya gambar Allah dalam setiap manusia.
Sebagai makhluk ciptaan yang sempurna, manusia memiliki potensi untuk mengambil keputusan dan memperdayakan kemampuan dalam kehidupan. Manusia tidak seharusnya menjadi objek yang terpenjara dalam roda nasib yang tidak bisa dihindari. Manusia tidak hanya dibentuk oleh sejarah, tetapi juga membentuk sejarah.



[1] Menurut E. G. Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) : PAK dimulai dengan terpanggilnya Abraham menjadi nenek moyang umat pilihan Allah, bahkan PAK berpokok kepada Allah sendiri, karena Allah yang menjadi Pendidik Agung bagi umat-Nya. Oleh sebab itu, untuk menemukan akar-akar dari PAK, kita harus menggali dalam Alkitab.
[2] B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta : Yayasan ANDI)
[3] Di dalam istilah lain disebutkan bahwa pendidik dan peserta didik merupakan pelaku pendidikan. B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta : Yayasan ANDI)
[4] Yusak Hadisiswantoro. “Partner Rohani”, Kiat membawa Jemaat dalam visi Tuhan. (Manorah Books. Surabaya) 7.
[5] Lebih lanjut Berkhof mengatakan bahwa manusia adalah pembawa gambar Allah yang Mahatinggi di setiap saat dan di segala tempat. Memisahkan gambar Allah dari manusia sama dengan merampas kemanusiaannya. Gambar Allah adalah hal yang paling mendasar dalam kemanusiaan secara umum, dan karenanya berlaku pada anak (peserta didik) secara khusus. Hal yang paling esensial pada seorang anak tidak dapat diabaikan dalam pendidikannya tanpa melakukan ketidakadilan kepada anak maupun Penciptanya dan tanpa menyelewengkan pendidikannya. Karena dosa, manusia kehilangan kualitas moral dan spiritual yang merupakan gambar Allah dalam pengertian yang lebih sempit, tetapi ini bukan berarti ia sudah tidak lagi menjadi pembawa gambar Allah. Manusia tetaplah makhluk rasional dan moral, yang dapat membedakan apa yang baik dan jahat, serta menunjukkan penghargaan yang jelas tentang apa yang benar, baik dan indah. Louis Berkhof & Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya: Momentum, 2004)47. Di dalam istilah lain, siswa juga disebut “subyek belajar”, yang sebagai individu memiliki kapasitas, bakat khusus, motivasi, kebiasaan, kematangan, dll. Odhita R. Hutabarat, Model-model Pembelajaran Aktif Pendidikan Agama Kristen SD, SMP, SMA Berbasis Kompetensi (Bandung: Bina Media Informasi, 2005)28-29.
[6] Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung : Jurnal Info Media, 2007   )154-155.
[7] Louis Berkhof & Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya: Momentum, 2004)48.
[8] Dosen-Dosen STT HKBP & FKIP Nommensen Pematangsiantar, Pendidikan Agama Kristen (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1994)62-63.
[9] Robby I. Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi Infomedia, 2006)62.
[10] Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal Info Media, 2007)156-158.
[11] Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal Info Media, 2007)160.
[12] Robby I. Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi Infomedia, 2006)86.
[13] [13] Louis Berkhof & Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya: Momentum, 2004)42-43.
[14] E. G. Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996)
[15] Odhita R. Hutabarat, Model-model Pembelajaran Aktif Pendidikan Agama Kristen SD, SMP, SMA Berbasis Kompetensi (Bandung: Bina Media Informasi, 2005)36.
[16] Louis Berkhof & Cornelius Van Til, Foundations of Christian Education (Surabaya: Momentum, 2004)58-59.
[17] E. G. Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996)
[18] B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta: Yayasan ANDI)
[19] E. G. Homrig Hausent & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996)
[20] Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal Info Media, 2007)160.
[21] Robby I. Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi Infomedia, 2006)96.

Admint : Renal

Minggu, 15 Juli 2012

Psikologi Pendidikan 1

Pengertian dan Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan 

 Dalam bab ini materi yang dibahas adalah pengertian psikologi pendidikan, sejarah perkembangan psikologi pendidikan dan ruang lingkup psikologi pendidikan . diskripsi singkat bab I ini dibangun dengan judul psikologi pendidikan, yaitu memuat kajian teoritis tentang psikologi pendidikan secara umum, dalam bab ini secara khusus di bahas tentang pengertian psikologi pendidikan secara umum, sejarah, metode dan implikasinya terhadap cabang-cabang ilmu lain, khususnya ilmu Pendidikan Agama Kristen. Definisi psikologi adalah ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. 

Dalam hal ini psikologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha memahami perilaku manusia, alasan, dan cara mereka melakukan sesuatu dan juga memahami bagaimana makhluk tersebut berpikir dan berperasaan. Definisi pendidikan sebagai usaha sengaja, sistematis dan terus menerus untukk penyampaian menimbulkan dan memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian-keahlian, atau kepekaan-kepakaan, juga setiap akabat dari usaha itu. 

Jadi kesimpulannya psikologi pendidikan adalah sebgai ilmu memberikan sumbangan dalam pemahaman dalam pemahaman tentang perbedaan karakteristik tingkah laku siswa, kondisi siswa dalam kelas, memberi pengetahuan tentang belbagai metode metode dalam pembelajaran, problem yang muncul pada siwa, dalam penyusunan kurikulum dan hasil riset belajar, riset dalm bidang pendidikan. Secara praktis psikologi pendidikan memberikan sumbangan dlam praktik penanaman aturan sekolah atau disiplin pengunaan media atau alat-alat belajar, pembuatan jadwal pelajaran dan penaganan administrasi dalam kelas dan sekolah. 

Judul Buku : Psikologi Pendidikan
Penulis  : Dr. Sentot.

Kamis, 12 Juli 2012

Pendidikan Orang Dewasa



Judul Buku : Pendidikan Orang Dewasa
Penulis : A.G. Lunandi
Penerbit : Gramedia Jakarta, 1987 

Admint: Renal

Pendidikan orang dewasa berarti keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan, apapun isi, tingkatan dan metodanya, baik formal maupun tidak formal, yang melanjutkan maupun mengantikan pendidikan semula disekolah, kolese dan universitas serta latihan kerja, yang membuat orang yang dianggap dewasa oleh masyarakat mengembangkan kemampuannya, memperkaya pengetahuannya, meningkatkan kualifikasi teknis atau profesionalnya, dan mengakibatkan perubahan pada sikap dan perilakunya dalam perspektif rangkap perkembangan sosial ekonomi dan budaya yang seimbang dan bebas. Pendidikan orang dewasa meliputi segala bentuk pengalaman belajar yang dibutuhkan oleh orang dewasa, pria maupun wanita, sesuai dengan bidang perhatiannya dan kemampuannya. Akibat atau hasil dari pada belajarnya orang dewasa nampak pada perilakunya. Dr.Abraham Maslow mengemukakan tingkatan kebutuhan manusia yaitu: fisik, keamanan, pengakuan, harga diri dan perwujudan diri. Dari kelima kebutuhan ini haruslah dipenuhi agar bisa merasakan kebutuhan yang lebih tinggi tingkatnya. Bagi pendidikan orang dewasa ada satu hal yang terpenting yang harus diperhatikan “apa yang dipelajari pelajar bukan apa yang diajarkan pengajar” dengan kata lain, hasil akhir yang dinilai adalah apa yang diperoleh orang dewasa dari suatu pertemuan pendidikan bukan apa yang dilakukan pembimbing atau pelatih atau penceramah dalam pertemuan itu. Belajar adalah suatu proses emosional dan intelektual sekaligus. Manusia mempunyai perasaan dan pikiran. Hasil belajar maksimal dicapai apabila orang dapat memperluas perasaan mupun pikiran. Belajar juga adalah proses evolusi, kemampuan orang dewasa untuk mengerti, menerima, mempercayai, menilai, mendukung memerlukan suatu proses yang berkembang secara perlahan. Tidak dapat dipakasakan sekaligus. Perubahan perilaku tidak dapat terjadi dalam seketika, melainkan terjadi perlahan-lahan melalui pencobaaan-pencobaan. Dalam kenyataan orang dewasa belajar bukan dengan cara digurui atau diajar. 

Orang dewasa lebih tepat dikatakan “dibimbing” untuk belajar. Sikap seseorang sebagai pembimbing belajar bagi orang dewasa mempunyai arti dan pengaruh yang besar. Sebab orang dewasa lebih kritis dari pada anak-anak. Banyak metode yang diterapkan orang dalam program pendidikan orang dewasa. Metoda apa pun yang dipilih, hendaknya dipertimbangkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir yakni agar peserta memperoleh suatu pengalaman belajar yang paling bermanfaat. Pemelihan metode hendaknya ditentukan oleh tujuan pendidikan, yang pada garis besarnya dapt dibagi dalam dua jenis yaitu: pertama, proses belajar yang dirancang untuk membantu orang menata pengalaman masa lampau yang dimilkinya dengan cara baru, misalnya melalui konsultasi, latihan kepekaan, dan beberapa jenis latihan manajemen, yang membantu individu untuk dapat lebih memanfaatkan apa yang sudah diketahuinya, tetapi kurang disadarinya. Kedua, proses belajar yang dirancang untuk memberikan pengetahuan baru, ketrampilan baru, yakni mendorong individu meraih lebih jauh dari pada apa yang diketahuinya, apa yang menjadi anggapannya, ketrampilannya hingga kini, misalnya belajar mengunakan komputer. Disekolah-sekolah formal evaluasi be;lajar diadakan melalui ulangan-ulangan, ujian-ujian. Guru memberi angka pada hasil ulangan dan ujian murid, dan guru dapat merasa ia sudah menjalankan tugasnya. Pada pendidikan orang dewasa cara evaluasi demikian tidak dapat dijalankan. Sebab dalam pendidikan orang dewasa dengan pendidikan konvesional adalah bahwa dalm pendidikan orang dewasa belajar ats kehendaknya sendiri yang bebas. 

Orang dewasa dapat dipaksa untuk masuk ruangan belajar, tetapi tidak bisa dipaksakan untuk belajar. Pembimbing dalam pendidikan orang dewasa itu, dan mampu membangkitkan perhatian secukupnya untuk dapat membangkitkan keinginan belajar orang dewasa. Jadi tidaklah cukup untuk menilai belajarnya orang dewasa dengan cara ulangan untuk ujian sebagai ukuran berhasil atau gagalnya program pendidikan itu. Dalam pendidikan orang dewasa metode evaluasinya harus mencerminkan kehendak bebas yang sama seperti proses belajarnya itu sendiri. Dengan kata lain, metode evaluasinya harus datang dari orang yang belajar, bukan dipaksakan dari luar. Secara singkatnya, orang dewasa harus pula belajar menilai sendiri sukses dan kegagalanya. Apa yang harus diketahui orang dewasa adalah apakah proses belajarnya menghasilakan perubahan dalam dirinya. Ia pula yang menilai apakah proses belajar yang dialaminya, karena metode yang dipakai, karena pembimbing yang membantu. Admint: Renal

Sabtu, 24 Maret 2012

Kitab ESTER PASAL 3


SETIA KEPADA TUHAN DAN RESIKONYA
ESTER PASAL 3
PENDAHULUAN

Setia, adalah suatu kata yang agung dalam kamus ensiklopedi orang percaya. Namun juga mengandung kontroversi dan resiko. Bila kita setia Tuhan akan menghormati kita, tetapi manusia belum tentu mengapresiasinya. Bersetia juga beresiko. Tatkala kita taat, ancaman bahaya bisa datang menyerbu. Sekalipun setia mengandung kontroversi dan resiko, seorang percaya harus tetap setia kepada Tuhan. Setia adalah bertahan sampai kesudahan (akhir).
Pada pasal tiga Ester diangkat menjadi ratu sejagat Babel dan dibebaskanlah rakyat dari pajak. Namun kontras di pasal tiga ketika Haman diangkat menjadi kepala atas seluruh kepala daerah, ia menjerat kepala orang  Yahudi. Dua tokoh yang kontras.
 STRUKTUR KIASMUS
 A.Kota Susan Gempar paska audisi kecantikan (1a)
B.Raja menaikkan pangkat Haman (1b)
                                C.Surat perintah untuk  sujud kepada haman (2)
                                                D.Membuang undi satu tahun (Nissan-Adar) (7)
                                                                E.Provokasi: Yahudi seteru Raja (8)
                                                                                F.Titah dan meterai cincin untuk membunuh bangsa  Yahudi (9-10a)
                                                                E’.Yahudi Seteru Agag (10b)
                                                D’.Satu hari pembunuhan (13)
                                C’.Surat perintah kepada semua kepala daerah (12b-15c)
B’.Raja duduk dan minum dengan Haman (15)c
A’.Kota Susan Gempar paska SK pembunuhan (15d)

SUB-UNIT STRUKTUR

  1. Kemashyuran Haman     1-6
    1. Naik pangkat (1d)
    2. Staff sujud kepadanya (2a)
    3. Mordekai tidak bersujud (2c)
    4. Reaksi staff terhadap Mordekai (3)
    5. Hasutan kepada Mordekai (4)
    6. Haman panas hati dan marah (5)
    7. Rencana membinasakan bangsa Yahudi (6)
    8. Bulan Nissan – Adar (satu tahun) Membuang undi (7)
    9. Laporan Haman kepada Raja  (8-11)
      1. Yahudi bangsa yang unik tidak melakukan perintah raja (8)
      2. Provokasi Haman kepada Raja agar mereka dibinasakan (9a)
      3. Nyawa Yahudi dihargai sepuluh ribu talenta perak (9b)
      4. Rencana dimeterai dengan cincin Raja (10a)
      5. Bangsa Agag seteru Yahudi (10b)
      6. Bulan pertama pada hari ketiga belas (12a)
      7. Rencana dan strategi pembunuhan  (12b-15a)
        1. Surat keputusan  kepada seluruh penguasa daerah (12b)
        2. Surat dikirim dengan pesuruh cepat (13a)
        3. Sk pembunuhan massal muda-tua, perempuan, (13b)
        4. Pembunuhan  hanya satu hari saja (13c)
        5. Pada tanggal 13 bulan Adar (13d)
        6. Merampas harta milik Yahudi (13e)
        7. Surat diundangkan, diumumkan  ke daerah, dan kepada bangsa (14)
        8. Pelaksanaan yang tergesa-gesa, pesuruh cepat (15a)
        9. Raja dan Haman duduk minum (ay 15b)
        10. Kota Susan gempar (15c)


Komentar:
  • Pilihan Sujud kepada Tuhan atau manusia.  Tunduk hanya kepada Tuhan adalah tuntutan tegas hukum Taurat. Namun di tanah pembuangan ada resiko yang ditanggung. Wajar kerajaan Babel memaksa semua warganya untuk menyembah  Raja. Tetapi  Mordekhai tak akan mengingkari perjanjian  kepada Tuhan. Dia tahu bahwa Tuhan tetap disembah sekalipun nyawa taruhannya. Demikianlah ia selalu memelihara pengakuan iman: “tidak sujud illah palsu yang menyerupai apa pun” termasuk raja ahasyweros. Demikianlah Mordekai menjaga komitmennya berdasarkan dasa titah 1-3 yang diturunkan oleh nenek moyangnya. Bergemalah sekali lagi credo Israel di tanah pembuangan melalui hidup Mordekhai: “No others God before Me”.
  • Di dada Mordhekai bergemuruh suara firman Tuhan itu. sekalipun demikian Umat Tuhan terancam nyawa. Lebih baik mati dari pada menghianati Tuhan. Mordekhai belajar, bahwa dulu mereka dibuang ke Babel karena tidak setia kepada Tuhan ketika mereka masih di tanah kelahirannya. Kali ini ia belajar apa artinya taat. Dibawah ancaman kru Haman, ia tetap berlutut kepada Tuhan seperti yang dilakukan oleh Daniel dan teman-temannya yang lain.
  • Rencana  pembunuhan di picu dari rasa benci masa lalu bangsa Agag. Relasi antar  kedua bangsa ini sejak dahulu kala tampaknya tidak mulus. Haman tak melepas pengampunan. Haman masih mengenang perseteruan nenek moyangnya. Kisah perseteruan itu sejak Musa akan menyeberang ke Kanaan, tetapi bangsa Amalek tidak memberi ijin lewat perbatasan mereka. Maka Musa menumpas bangsa Amalek. Kemudian pada masa Saul menjadi raja, diperintahkan oleh Tuhan untuk memunahkan bangsa Amalek. Tetapi Saul tidak melakukannya. Maka Samuel  menghabisi Raja Amalek dan Agag dihadapan Tuhan. Mengapa Agag ditumpas karena Raja Amalek itu pernah membelah perut ibu-ibu Israel dengan pedang. Samuel melakukannya atas dasar perintah Tuhan. Memang kebiadaban harus ditumpas dari muka bumi ini.
  • Selama bulan Nissan sampai Adar (dua belas bulan) direncanakan untuk membasmi ras Yahudi dan mengambil alih seluruh harta mereka. Haman pun memprovokasi dan menyaklurkan rasa bencinya kepada Ahasyweros dengan taktik politik yang handal. Raja digoda bahwa seolah-olah ia tak punya kuasa untuk memerintah warga Yahudi. Alhasil raja juga menyetujui usulan gegabah Haman. Dan dengan cermat surat keputusan dicetak, dimeterai cincin, diundangkan, disebarkan keseluruh daerah jajahan Babel dengan cara terburu-buru. Ini semua terjadi karena kharisma raja yang sangat lemah. Sejak di pasal satu sudah ditunjukkan kekurangang raja yang mengadakan pesta pora selama enam bulan. Wasti yang menolaknya dan di pasal tiga ini, Haman mempermainkannya dengan nasehat busuknya. Bila ia teliti dan menelusuri perkara ini seperti pada pasal dua pasti tak akan terjadi keputusan ini. Raja dengan mudahnya disiasati oleh penasehat-penasehatnya. Namun semua ini menjadi persiapan untuk menyatakan iman Mordkhai kepada Tuhan di seluruh daerah jajahan Babel yang nantinya akan memproklamasikan NAMA TUHAN akan ditinggikan walaupun tak satu frasa terang-terangan untuk menyebut namaNYa Yang Kudus itu.
  • Amarah kebencian sudah sampai diubun-ubun raja, sehingga diperintah untuk membunuh seluruh umat Tuhan dalam satu hari. Bisa dibayangkan tanah Babel (kalau itu terjadi) akan menjadi lautan darah, air mata, keringat. Merencanakan pembunuhan satu tahun dan melaksanakannya dalam satu hari, ini adalah suatu kebiadaban dalam perdaban manusia. Benarlah apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus: “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala”.  Perlu bagi setiap orang untuk mengendalikan emosi.

  • Apakah rencana ini akan terjadi? Bagaimanakah kelanjutan cerita ini, tunggu ulasan di pasal 4.

Apa makna rohaninya untuk anda
  • Hati-hati kolegamu yang rakus akan kuasa yg cenderung menjadi “tuhan” . dan hati-hati kepada siapa engkau tunduk. Janganlah kita gila hormat, gila kuasa, gila raja, gila tuan. Emang benar ya, setelah dosa merusak manusia, sifat kepemimpinannya sangat merusak.
  • Menghadapi situasi bahaya: tenang (iman)  atau kacau (gempar). Marilah kita seperti Mordekhai yang tenang menghadapi situasi ancaman nyawa karena iman kokoh. Masih teringat dibenak saya sekitar tahun 1998-an ada ancaman untuk menghanguskan ke-Kristenan di Indonesia. Dan peristiwa Situbondo mejadi sejarah pembantaian gereja dan umat percaya pada waktu itu. Rasanya mencekam sekali. Di internet terbaca, dan banyak selebaran bahwa kepala hamba Tuhan dihargai 40 juta rupiah. Di saat itu, saya banyak melihat dan mendengar orang-orang Kristen berdoa dan berharap akan pemeliharaan Tuhan. Dan sampai sekarang orang Kristen Indonesia terus bertambah-tambah.  Jauh sebelum peristiwa ini, kaum Yahudi pernah dibantai sekitar 6 juta orang di German yang diprakarsai oleh Hitler. Dalam satu bacaan (lupa), Hitler diakhir hidupnya menjadi gila (tak waras) sebelum mati.
  • Menghadapi penguasa: berani atau pengecut. Penulis kitab Ibrani telah melukiskan keberanian orang-orang percaya pada masa gereja mula-mula. Mereka berani menghadapi aniaya, digergaji, disiram dengan aspal panas, tusukan pedang dll. Dengan iman yang kokoh mereka mau kehilangan nyawa tetapi tidak mau melepaskan kepercayaan kepada Yesus. Mereka tahu sekaliun mati diujung pedang mereka telah dijamin kehidupan kekal. Iman yang sejati menghasilkan keberanian menghadapi dan menerima bahaya, derita, siksaan.
  • Dikendalikan amarah. Haman dan Ahasyweros menjadi gambaran manusia yang tak dapat mengonrol emosinya. Dan hal ini akan menghasilkan dan mengambil keputusan tergesa-gesa yang tidak manusiawi dan melanggar kebenaran Tuhan. Amarah membutakan pikiran. Kedongkolan menjadikan manusia dungu dan sudah dekat dengan hewan/binatang. Hati-hati kuasa jabatan/penguasa bila tak bijak akan menjadikan kita seperti boneka ditangan orang lain.
  • Roh pembunuh (siapa dibalik ini ...).  Iblis selalu melancarkan isu pembunuh rohani dan jasmani secara massal. Yang akan menimbulkan ketakutan. Teror itu akan membuat orang hilang harapan, putus asa, meragukan iman dst. Musuh dan seteru sejati dari umat Tuhan adalah si Iblis. 
  • Tuhan tetap setia di saat bahaya datang (atau bertanya: Dimana Tuhan saat badai ini datang. Mordekai tetap hanya menyembah Tuhan karena Ia ada di sini, bukan menyembah Haman). Tatkala kita memegang teguh iman, kepercayaaan kita, Tuhan akan menolong, membantu sehingga di saat badai datang kita tetap rasa aman (bukan rasa aman palsu). Why? Karena Tuhan itu immanuel. Ia menyertai kita disaat bahaya itu. Tuhan itu tetap ada disamping kita disaat musuh datang menyerang. Pemazmur berkata: “Tuhan adalah kota bentengku, akuakan merasa aman”.
  • Musuhmu menyaksikan kebaikan rohanimu. Ironi dari cerita ini adalah Haman (ayat 8) menyaksikan kepada raja Ahasyweros tentang reputasi bangsa Yahudi yang unik dalam hukumnya dan yang selalu sujud hanya kepada TUHAN mereka.  Inilah nilai kesejatian Israel dimata musuh-musuhnya. Mereka (musuh) memberikan salut hormat atas kualitas karakter iman, moral, kerohanian anak-anak Tuhan. Israel demikian mantapo dalam kerohanian karena Tuhan yang memelihara mereka.
 PENUTUP
Tuhan telah menyatakan pemeliharaanNya yang setia kepada umatNya. Ia setia memelihara Musa dan bangsa Israel di Mesir dan padang gurun bahaya. Ia setia memelihara Israel di Kanaan pada masa penaklukan Yosua. Tuhan juga tetap setia kepada umatNya tatkala umatnya juag memberontak kepadaNya di masa keemasan raja-raja Israel. Tatkala mereka dipembuangan pun Tuhan sangat setia memelihara mereka. Contoh, Daniel cs dijaga dari binatang buas, dari nyala api. gerejaNya juag dipelihara dari kebiadaban tentara Romawi, yang pada akhirnya Romawi malah memproklamasikan Kristen sebagi agama resmi secara nasional. Hitler berusaha memunahkan ras Yahudi, tetapi diseluruh dunia ras ini yang menguasai segala bidang politik, ekonomi, iptek dll. Memang menjelang kedatangan Kristus kedua kali akan banyak ancaman kepada orang percaya. Tuhan tetap setia memelihara anak-anakNya sehingga mereka dengan rela bersetia kepada Tuhan Yesus.
Esther 3:1 - 4:1  ITB Esther 3:1 ¶ Sesudah peristiwa-peristiwa ini maka Haman bin Hamedata, orang Agag, dikaruniailah kebesaran oleh raja Ahasyweros, dan pangkatnya dinaikkan serta kedudukannya ditetapkan di atas semua pembesar yang ada di hadapan baginda.  2 Dan semua pegawai raja yang di pintu gerbang istana raja berlutut dan sujud kepada Haman, sebab demikianlah diperintahkan raja tentang dia, tetapi Mordekhai tidak berlutut dan tidak sujud.  3 Maka para pegawai raja yang di pintu gerbang istana raja berkata kepada Mordekhai: "Mengapa engkau melanggar perintah raja?"  4 Setelah mereka menegor dia berhari-hari dengan tidak didengarkannya juga, maka hal itu diberitahukan merekalah kepada Haman untuk melihat, apakah sikap Mordekhai itu dapat tetap, sebab ia telah menceritakan kepada mereka, bahwa ia orang Yahudi.  5 Ketika Haman melihat, bahwa Mordekhai tidak berlutut dan sujud kepadanya, maka sangat panaslah hati Haman,  6 tetapi ia menganggap dirinya terlalu hina untuk membunuh hanya Mordekhai saja, karena orang telah memberitahukan kepadanya kebangsaan Mordekhai itu. Jadi Haman mencari ikhtiar memunahkan semua orang Yahudi, yakni bangsa Mordekhai itu, di seluruh kerajaan Ahasyweros.  7 ¶ Dalam bulan pertama, yakni bulan Nisan, dalam tahun yang kedua belas zaman raja Ahasyweros, orang membuang pur yakni undi di depan Haman, hari demi hari dan bulan demi bulan sampai jatuh pada bulan yang kedua belas, yakni bulan Adar.  8 Maka sembah Haman kepada raja Ahasyweros: "Ada suatu bangsa yang hidup tercerai-berai dan terasing di antara bangsa-bangsa di dalam seluruh daerah kerajaan tuanku, dan hukum mereka berlainan dengan hukum segala bangsa, dan hukum raja tidak dilakukan mereka, sehingga tidak patut bagi raja membiarkan mereka leluasa.  9 Jikalau baik pada pemandangan raja, hendaklah dikeluarkan surat titah untuk membinasakan mereka; maka hamba akan menimbang perak sepuluh ribu talenta dan menyerahkannya kepada tangan para pejabat yang bersangkutan, supaya mereka memasukkannya ke dalam perbendaharaan raja."  10 Maka raja mencabut cincin meterainya dari jarinya, lalu diserahkannya kepada Haman bin Hamedata, orang Agag, seteru orang Yahudi itu,  11 kemudian titah raja kepada Haman: "Perak itu terserah kepadamu, juga bangsa itu untuk kauperlakukan seperti yang kaupandang baik."  12 ¶ Maka dalam bulan yang pertama pada hari yang ketiga belas dipanggillah para panitera raja, lalu, sesuai dengan segala yang diperintahkan Haman, ditulislah surat kepada wakil-wakil raja, kepada setiap bupati yang menguasai daerah dan kepada setiap pembesar bangsa, yakni kepada tiap-tiap daerah menurut tulisannya dan kepada tiap-tiap bangsa menurut bahasanya; surat itu ditulis atas nama raja Ahasyweros dan dimeterai dengan cincin meterai raja.  13 Surat-surat itu dikirimkan dengan perantaraan pesuruh-pesuruh cepat ke segala daerah kerajaan, supaya dipunahkan, dibunuh dan dibinasakan semua orang Yahudi dari pada yang muda sampai kepada yang tua, bahkan anak-anak dan perempuan-perempuan, pada satu hari juga, pada tanggal tiga belas bulan yang kedua belas yakni bulan Adar ,dan supaya dirampas harta milik mereka.  14 Salinan surat itu harus diundangkan di dalam tiap-tiap daerah, lalu diumumkan kepada segala bangsa, supaya mereka bersiap-siap untuk hari itu.  15 Maka dengan tergesa-gesa berangkatlah pesuruh-pesuruh cepat itu, atas titah raja, dan undang-undang itu dikeluarkan di dalam benteng Susan. Sementara itu raja serta Haman duduk minum-minum, tetapi kota Susan menjadi gempar. 

Ringkasan dari: Pdt. Tony M. Hutabarat